Sunday 10 May 2009

LIBERALISASI PENDIDIKAN TINGGI

Pasar sebagai salah satu pranata civil society dikendalikan pelaku bisnis menjelajahi dan menguasai sumber-sumber daya dalam pasar, lahan-lahan yang secara historis merupakan usaha untuk kemaslahatan orang banyak sehingga diselenggarakan oleh negara, seperti pendidikan dan kesehatan, kini menjadi garapan pelaku bisnis.

Salah satu dampak positif UU BHP adalah tansformasi di PTN. Jerat birokrasi yang berwujud kurang efisien mulai bisa diperbaiki. Sedangkan kalangan yang masih mempercayai nilai-nilai sosial demokrasi mengkhawatirkan terjadinya liberalisasi pendidikan. Meski Pasal 4 UU BHP sudah mengatur bahwa badan hukum pendidikan bersifat nirlaba, fenomena liberalisasi pendidikan tinggi sudah amat terasa. Berbagai jalur yang disediakan PTN mulai dari jalur Seleksi Nasional Mahasiswa Perguruan Tinggi Negeri (SNM-PTN) hinga jalur khusus dan mandiri memberi beberapa paket dengan persentase masing-masing.

Yang dikeluhkan adalah alokasi penerimaan dengan biaya minimal makin dikurangi persentasenya. Sedangkan alokasi penerimaan melalui jalur khusus atau mandiri bertambah. Praktek ini dilakukan PTN guna menembah jumlah pendapatan sehingga bisa memperbaiki mutu. Formula alokasi disusun tiap PTN, dengan melihat kepentingan institusional PTN itu, dengan standar mutu yang ingin dicapai dan biaya yang harus ditanggung. Padahal, alokasi jalur subsidi dan jalur khusus ini tidak sesuai dengan persentase penduduk miskin di Indonesia. Akibatnya, kesempatan bagi anak-anak keluarga miskin untuk meniti jalur keberhasilan seperti Steve Jobs makin tertutup.

Para penganut nilai-nilai sosial demokratis berpendapat UU BHP tidak berpihak kepada rakyat, bahkan cenderung melindungi yang kuat. Dikhawatirkan bertambahnya jumlah orang macam Chris Langan dan Lintang (dalam Laskar Pelangi) yang berpotensi tinggi tetapi tidak mendapat kesempatan pendidikan akan menjadi energi negatif di masayarakat.

Alternatif Solusi

Sementara perdebatan tentang subsidi negara untuk PTN atau PTS masih berlangsung dan mungkin tidak akan pernah reda, kisah-kisah Chris Langan dan Lintang akan terus terjadi di seluruh Nusantara. Dana subsidi pemerintah memang sudah dikucurkan ke berbagai PTN dan PTS, di antaranya melelui program hibah dan kompetensi. Dua alternatif solusi perlu dipertimbangkan guna meningkatkan akses terhadap pendidikan tinggi sambil tetap berjuang mencapai target mutu dan menjaga ekuilibrium antara layanan pendidikan tinggi sebagai entitas yang nirlaba dan eksploitas elaku bisnis dan sektor pendidikan.

Alternatif pertama adalah memberi dan meningkatkan jumlah beasiswa pemerintah melalui lembaga mandiri. Lembaga kepanjangan pemerintah ini bertugas menyeleksi kelayakan calon penerima beasiswa secara jujur dan transparan. Alternatif kedua melibatkan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan. Selama ini beberapa korporasi melalui lembaga filantropis (seperti Tanoto Foundation, Djarum dan Sampoerna Foundation) sudah cukup banyak berperan dalam ikut mencerdaskan bangsa dengan memberikan beasiswa di perguruan tinggi.

Anita Lie, Opini Kompas 2 maret 2009

ORANG DENGAN IQ TERTINGGI DI DUNIA HANYA JADI BURUH

Dalam bukunya ‘The Outliers’ Malcolm Gladwell membeberkan kisah orang-orang sukses dan gagal. Beberapa di antaranya Bill Gates, Bill Joy (Sun Microsystem), dan Steve Jobs (Apple Computer).

Salah satu factor keberhasilan seseorang adalah kesempatan. Banyak dari orang sukses (misalnya Bill Gates, Bill Joy dan Paul Allen) dalam The Outliers berasal dari kelas sosioekonomi menengah dan atas sehingga bisa mengakses pendidikan bermutu.

Sebaliknya, saat kesempatan itu ditiadakan, seseorang dengan IQ 195, Chris Langan (bandingkan: IQ Albert Einstein 150) harus putus kuliah karena ketiadaan biaya dan berakhir sebagai buruh tani dengan berbagai kepahitan. Diantara kedua titik ini, ada kisah Steve Jobs dari keluarga sederhana yang berhasil mengubah hdupnya dan dunia melalui perusahaan Apple Computer. Meski tidak berasal dari keluarga kaya, Steve Jobs hidup di Silicon Valley dan bergaul dengan para insinyur Hewlett Packard. Pesan dari kisah-kisah ini, kesempatan merupakan pintu awal menuju keberhasilan.

Salah satu fungsi pendidikan adalah memberi kesempatan itu untuk mengurangi jumlah orang yang berakhir seperti Chris Langan dan Steve Jobs. Jika The Outliers ditulis dalam versi Indonesia, pasti ada banyak kisah Chris Langan dan Steve Jobs ala Indonesia yang bisa menjadi latar belakang pembuatan kebijakan pendidikan atau keputusan Negara maupun Institusi. Kebjakan yang masih menuai kontroversi adalah UU no 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP). Ketika sektor-sektor yang memenuhi kepentingan publik dan tidak diharapkan memberi keuntungan material, pendidikan menjadi tanggung jawab negara. Pada era ini, ada pergeseran cara pandang dan raktik terhadap sektor-sektor itu.

Anita Lie, Opini Kompas 2 maret 2009

Tuesday 5 May 2009

Waduh, PTN Masih Ragukan Kredibilitas UN

Keinginan pemerintah supaya Ujian Nasional (UN) di tingkat pendidikan menengah bisa dipertimbangkan dalam seleksi penerimaan mahasiswa baru belum berjalan mulus. Pasalnya, Perguruan Tinggi Negeri (PTN) melihat pelaksanaan ujian nasional hingga saat ini masih butuh pembenahan yang serius, terutama dari segi kredibilitasnya.

"Pembenahan serius mesti dilakukan oleh pelaksana UN dan peserta tesnya. Sampai UN tahun ini, pelaksanaannya belum akuntabel. Harus ada komitmen dulu untuk bisa membenahi pelaksanaan UN supaya hasilnya tidak diragukan," kata Djoko Santoso, Ketua Majelis Rektor Perguruan Tinggi Negeri (PTN), usai jumpa pers soal peringatan Hari Pendidikan Nasional, di Jakarta, Rabu (29/4).

Menurut Djoko, yang juga menjabat Rektor ITB, pelaksanaan UN masih rawan penyimpangan, dan itu terbukti. Karena itu, persoalan mendasar ini harus dibenahi secara serius sebagai jaminan pelaksanaan UN yang dapat dipercaya. "Perguruan tinggi ini memang ikut dalam pengawasan, tetapi peran pelaksana UN dan peserta yang harus membuktikan bahwa UN itu akan berlangsung baik ke depannya," kata Djoko.(ELN)

http://www.kompas.com/lipsus052009/pread/xml/2009/04/29/19074823/

BHP pesanan asing?

Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (BHP) yang disahkan pada 17 Desember 2008, dipandang sebagai kado pahit di akhir tahun bagi sejumlah kalangan, dengan sisi pandang yang berbeda-beda sesuai kepentingannya.
Mahasiswa dimana-mana melakukan demonstrasi menolak BHP karena khawatir BHP akan membuat biaya pendidikan semakin mahal, lembaga pendidikan akan disamakan dengan perusahaan yang kapitalistik, dan membuat orang miskin semakin ‘tidak berhak’ mendapat pendidikan yang layak karena tidak mampu membayar.
Ada yang juga menilai pemerintah berusaha lepas tangan terhadap kewajiban mencerdaskan kehidupan bangsa, khususnya bagi rakyat miskin, karena 1/3 dari biaya operasional pendidikan dilimpahkan ke peserta didik/masyarakat.
Sebaliknya, pemerintah ngotot bahwa UU BHP merupakan wujud tanggungjawab yang besar bagi pemerintah terhadap dunia pendidikan, memberikan keluasan kepada pengelola lembaga pendidikan untuk kreatif, lebih progresif, memberi ruang gerak yang luas, otonom, profesional, dan transparan dengan jaminan mutu terstandar.
Kekhawatiran penolak BHP, memiliki alasan kuat karena di pasal-pasal UU BHP memang memberi peluang besar untuk terjadinya kapitalisasi pendidikan.
Sebaliknya, penegasan pemerintah juga beralasan kuat karena memang merasa memiliki semangat untuk memajukan pendidikan, dimana lembaga pendidikan negeri bukan sekadar sebagai Unit Pengelola Teknis (UPT), harus memiliki standar mutu yang jelas, hingga yayasan agar tidak menjadi ’raja kecil’ dunia pendidikan.
Persoalan mahalnya pendidikan, dalam praktiknya sebenarnya toh sudah berlangsung sejak lama. Banyak lembaga pendidikan negeri yang notabene seluruh biaya rutin seperti gaji guru dan dosen, biaya operasional, biaya proyek pengembangan, semuanya dibiayai pemerintah, ternyata memungut biaya ke siswa/mahasiswa yang cukup besar.
Malah, banyak biaya-biaya program dan proyek atasnama lembaga pendidikan itu yang disimpangkan, karena merasa bukan uang sendiri, tidak ada seseorang yang secara khusus bisa mengklaim berhak atas dana itu, lalu dianggap sebagai ’uangku’ oleh pengelola pendidikan, kemudian dibagi-bagi agar ’aman’.
Sebaliknya, lembaga pendidikan swasta yang notabene seluruh biaya rutin, biaya operasional, sampai biaya pengembangan ditanggung sendiri, toh mampu menerapkan pemungutan biaya dari siswa/mahasiswa/masyarakat yang kompetitif hingga mampu menjadi lembaga pendidikan yang kompetitif dan favorit.
Meski demikian, banyak juga lembaga pendidikan swasta yang menerapkan pola dana pendidikan yang masuk ke yayasan adalah milik yayasan yang selanjutnya menjadi milik pendiri yayasan, karena yayasan include menjadi milik pribadi pendiri, hingga bebas menerapkan menejemen pendidikan yang dikelolanya.
Melalui UU BHP ini, jelas pendidikan di bawah yayasan akan merasa terpukul karena mereka harus mengikuti aturan transparansi pengelolaan keuangan pendidikan sebagaimana ketentuan yang ada.
Di sisi lain, jika UU BHP sudah diterapkan total, maka akan terjadi kompetisi lembaga pendidikan yang cukup baik. Karena semua lembaga sudah berstatus sama yaitu BHP, punya hak yang sama terhadap bantuan pemerintah, transparansi yang luas, dan keterlibatan masyarakat yang kuat.
Tetapi melihat realitas yang berkembang sekarang ini, sebenarnya persoalan UU BHP tidak akan banyak berpengaruh pada dunia pendidikan kita. Kecuali, mental para pengelolanya harus diubah sedemikian rupa dengan pengawasan yang bersih tanpa KKN. Hanya saja, sulit untuk bisa membayangkan mental para pengelola pendidikan sekarang bisa berubah dengan cepat.
Yang paling mengkhawatirkan dari UU BHP ini justru terkait dengan masuknya pemodal asing. Karena di dalamnya sama sekali tidak mengatur ’larangan’ masuknya modal asing di lembaga pendidikan. Apalagi dengan ratifikasi WTO/GATS melalui UU No 7 Tahun 1994 yang memasukkan layanan pendidikan sebagai komoditas perdagangan bebas sesuai dengan hukum pasar bebas.
Pemodal asing, akan sangat mudah masuk ke lembaga pendidikan karena mereka memiliki modal besar, manajemen yang sudah tertata dan terstandar dengan baik, pengawasan program yang ketat, dan imej masyarakat yang kuat di tengah ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah Indonesia.
Segala hal yang berbau asing, termasuk lembaga pendidikan asing, dipandang sangat positif dan baik oleh masyarakat, bergengsi, memiliki level lebih tinggi, lebih bisa dipercaya, dan sebagainya. Kondisi ini menjadi modal dasar yang besar untuk masuknya lembaga pendidikan asing ke Indonesia.
Tidak peduli harus membayar mahal, para pengusaha, orang-orang kaya, pejabat, diyakini akan memasukkan anak-anak mereka ke sekolah asing ini. Karena ada gengsi besar. Sehingga sebenarnya mereka ’membeli gengsi’ saat menyekolahkan anaknya tersebut.
Meskipun kasus ’beli gengsi’ seperti ini, sebenarnya juga sudah berlangsung di sekolah-sekolah negeri favorit, dimana banyak orang tua yang siap membayar jutaan rupiah untuk menyekolahkan anaknya. Ini juga ikut membuat biaya pendidikan menjadi mahal.
Situasi psikologis masyarakat yang mengedepankan ’gengsi’ ini diprediksi akan menjadi peluang besar bagi lembaga pendidikan asing untuk semakin memantapkan langkah masuk ke Indonesia.
Apalagi, asing memiliki kepentingan besar di Indonesia terkait dengan sosial, politik, perdagangan, sampai ideologi. Wajar, jika kemudian ada dugaan bahwa muncul UU BHP ini ada kepentingan asing yang masuk, apalagi didukung realitas ratifikasi WTO/GATS oleh Indonesia. Jangan-jangan, sebagian pasal-pasal di dalam UU BHP merupakan perwujudan dan lanjutan dari pasal-pasal WTO/GATS.
http://imamsubawi.blogdetik.com/2009/01/06/bhp-pesanan-asing/

Friday 1 May 2009

Ki Hadjar Dewantara

Raden Mas Soewardi Soerjaningrat (EYD: Suwardi Suryaningrat, sejak 1922 menjadi Ki Hadjar Dewantara, EYD: Ki Hajar Dewantara, beberapa menuliskan bunyi bahasa Jawanya dengan Ki Hajar Dewantoro; lahir di Yogyakarta, 2 Mei 1889 – wafat di Yogyakarta, 26 April 1959 pada umur 69 tahun[1]; selanjutnya disingkat sebagai “Soewardi” atau “KHD”) adalah aktivis pergerakan kemerdekaan Indonesia, kolumnis, politisi, dan pelopor pendidikan bagi kaum pribumi Indonesia dari zaman penjajahan Belanda. Ia adalah pendiri Perguruan Taman Siswa, suatu lembaga pendidikan yang memberikan kesempatan bagi para pribumi jelata untuk bisa memperoleh hak pendidikan seperti halnya para priyayi maupun orang-orang Belanda.

Tanggal kelahirannya sekarang diperingati di Indonesia sebagai Hari Pendidikan Nasional. Bagian dari semboyan ciptaannya, tut wuri handayani, menjadi slogan Departemen Pendidikan Nasional. Namanya diabadikan sebagai salah sebuah nama kapal perang Indonesia, KRI Ki Hajar Dewantara. Potret dirinya diabadikan pada uang kertas pecahan 20.000 rupiah.

Masa Muda dan Awal Karier

Soewardi berasal dari lingkungan keluarga Keraton Yogyakarta. Ia menamatkan pendidikan dasar di ELS (Sekolah Dasar Eropa/Belanda). Kemudian sempat melanjut ke STOVIA (Sekolah Dokter Bumiputera), tapi tidak sampai tamat karena sakit. Kemudian ia bekerja sebagai penulis dan wartawan di beberapa surat kabar antara lain Sediotomo, Midden Java, De Expres, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer, dan Poesara. Pada masanya, ia tergolong penulis handal. Tulisan-tulisannya komunikatif dan tajam dengan semangat antikolonial.

Aktivitas Pergerakan

Selain ulet sebagai seorang wartawan muda, ia juga aktif dalam organisasi sosial dan politik. Sejak berdirinya Boedi Oetomo (BO) tahun 1908, ia aktif di seksi propaganda untuk menyosialisasikan dan menggugah kesadaran masyarakat Indonesia (terutama Jawa) pada waktu itu mengenai pentingnya persatuan dan kesatuan dalam berbangsa dan bernegara. Kongres pertama BO di Yogyakarta juga diorganisasi olehnya.

Soewardi muda juga menjadi anggota organisasi Insulinde, suatu organisasi multietnik yang didominasi kaum Indo yang memperjuangkan pemerintahan sendiri di Hindia Belanda, atas pengaruh Ernest Douwes Dekker (DD). Ketika kemudian DD mendirikan Indische Partij, Soewardi diajaknya pula.

Taman Siswa

Soewardi kembali ke Indonesia pada bulan September 1919. Segera kemudian ia bergabung dalam sekolah binaan saudaranya. Pengalaman mengajar ini kemudian digunakannya untuk mengembangkan konsep mengajar bagi sekolah yang ia dirikan pada tanggal 3 Juli 1922: Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa atau Perguruan Nasional Tamansiswa. Saat ia genap berusia 40 tahun menurut hitungan penanggalan Jawa, ia mengganti namanya menjadi Ki Hadjar Dewantara. Ia tidak lagi menggunakan gelar kebangsawanan di depan namanya. Hal ini dimaksudkan supaya ia dapat bebas dekat dengan rakyat, baik secara fisik maupun jiwa.

Semboyan dalam sistem pendidikan yang dipakainya kini sangat dikenal di kalangan pendidikan Indonesia. Secara utuh, semboyan itu dalam bahasa Jawa berbunyi ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani. (”di depan menjadi teladan, di tengah membangun semangat, dari belakang mendukung”). Semboyan ini masih tetap dipakai dalam dunia pendidikan rakyat Indonesia, terlebih di sekolah-sekolah Perguruan Tamansiswa.

Pengabdian di Masa Indonesia Merdeka

Dalam kabinet pertama Republik Indonesia, KHD diangkat menjadi Menteri Pengajaran Indonesia (posnya disebut sebagai Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan) yang pertama. Pada tahun 1957 ia mendapat gelar doktor kehormatan (doctor honoris causa, Dr.H.C.) dari universitas tertua Indonesia, Universitas Gadjah Mada. Atas jasa-jasanya dalam merintis pendidikan umum, ia dinyatakan sebagai Bapak Pendidikan Nasional Indonesia dan hari kelahirannya dijadikan Hari Pendidikan Nasional (Surat Keputusan Presiden RI no. 305 tahun 1959, tanggal 28 November 1959).Ia meninggal dunia di Yogyakarta tanggal 26 April 1959.