Thursday 21 July 2011

Sejarah Kereta Api di Indonesia


Kereta api merupakan salah satu moda transportasi yang sangat digemari oleh masyarakat di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa dan mereka yang tinggal di Ibu Kota Jakarta.

Kereta api bukan hanya alternatif pilihan transportasi rakyat yang murah, namun juga bebas dari kemacetan jalan raya ibukota yang semakin membuat sakit kepala.

Di masa kini, kereta api bukan hanya pilihan bagi mereka yang berekonomi menengah ke bawah, namun sudah menjadi gaya hidup mereka yang "berduit" namun mencari kepraktisan dan kenyamanan untuk mencapai tempat tujuan.

Namun demikian, tidak banyak yang tahu jika sejarah perkeretaapian memiliki sejarah yang sangat panjang di Indonesia.

Dalam pengertiannya, kereta adalah serangkaian kendaraan yang berjalan di atas roda dan baik ditarik oleh sebuah lokomotif ataupun memiliki mesin pendorong sendiri yang berjalan di atas rel, yakitu sebuah jalur yang menuntun jalannya kereta.

Ide pembangunan jaringan kereta api dikemukakan oleh Kolonel Jhr. Van Der Wijk pada 15 Agustus 1840 karena menurutnya dengan pembangunan jaringan kereta api di Eropa telah berhasil mengatasi masalah pengangkutan.

Selain itu, kereta api dinilai akan memberikan keuntungan di bidang pertahanan.

Maka ia mengusulkan pembangunan jalur rel kereta api Jakarta-Surabaya lewat Surakarta-Yogyakarta-Bandung lengkap dengan simpangannya.

Usulan tersebut diterima oleh Pemerintah Belanda, namun jalur yang dipilih adalah Semarang-Surakarta-Yogyakarta.

Keputusan tersebut belum dapat segera direalisasikan dan terus menuai perdebatan mengenai pihak yang akan membangun dan jalur yang akan dilalui.

Setelah dilakukan berbagai upaya untuk mengatasi perdebatan, pada tahun 1862 Pemerintah Belanda menerbitkan konsesi kepada Nederlandsch-Indische Spoorweg-Mattschapij (NISM) pembuatan jalan kereta api dimilai dari Semarang.

Kereta pertama

Pada 17 Juni 1864 Gubernur Jenderal Hindia Belanda, LAJ Baron Sloet Van Den Belle melakukan upacara pencangkulan pertama pembangunan jalan kereta api di Semarang.

Pembangunan diprakarsai oleh NISM yang dipimpin oleh JP de Bordes dan dalam tiga tahun sudah diselesaikan jalan sepanjang 26 kilometer dari Semarang sampai ke Desa Tangoeng atau yang sekarang dikenal dengan Desa Tanggung, Kabupaten Grobogan.

Ruas jalan ini dibuka untuk umum pada tanggal 10 Agustus 1867 dan berhasil diluncurkan kereta api pertama di Indonesia.

Dalam pembangunan jalur kereta api muncul banyak kesulitan baik finansial maupun bencana yang menimpa para pekerja sehingga Pemerintah Belanda terjun langsung mendirikan perusahaan Staat Spoorwagen (SS).

Jalur rel pertama yang dibangun SS adalah Surabaya Pasuruan sepanjang 115 kilometer yang diresmikan pada 16 Mei 1878.

Setelah itu, semakin banyak bermunculan perusahaan kereta api swasta.

Panjang jalan kereta api tumbuh dengan pesat dari 110 kilometer pada tahun 1870 menjadi 3.338 kilometer pada tahun 1900.

Selain di Jawa pembangunan rel kereta api juga dilakukan di Aceh (1874) Sumatera Utara (1886), Sumatera Barat (1891), Sulawesi (1922) dan lain sebagainya.

Pelestarian kereta

Kepala Pusat Pelestarian PT Kereta Api Indonesia (PT KAI) Ella Ubaidi mengatakan, pada saat ini PT KAI bersama dengan Direktorat Peninggalan Purbakala, Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata tengah melakukan kegiatan inventarisasi dan pendokumentasian perkeretaapian.

Kegiatan tersebut dilakukan selama tiga tahun sejak 2010 hingga 2012 mencakup bangunan perkeretaapian termasuk stasiun pendukungnya baik yang masi aktif maupun yang sudah tidak digunakan.

"Sebagian bangunan tersebut masih memperlihatkan keasliannya, namun juga ada yang mengalami perubahan. Kegiatan ini merupakan langkah awal untuk memulai upaya pelestarian peninggalan purbakala khususnya yang terkait dengan perkeretaapian walaupun pelestarian terhadap beberapa bangunan telah dilaksanakan sebelumnya," katanya.

Sementara itu, Sekretaris Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala Kementerian Kebudayaan Pariwisata Suroso mengatakan kegiatan tersebut merupakan upaya dari pemerintah untuk melestarikan sejarah peradaban bangsa.

"Seiring berkembangnya peradaban, perkeretaapian memiliki peran penting bagi perkembangan peradaban terutama di wilayah sekitar jalur kereta api," katanya.

Dia menambahkan, umumnya wilayah tersebut berkembang menjadi daerah yang ramai bahkan menjadi kota.

Dengan adanya stasiun maka akses ke suatu wilayah menjadi terbuka, perekonomian meningkat dan mobilitas penduduk serta pemukiman terpacu.

Wednesday 20 July 2011

Berburu Sepatu ke Cibaduyut


RASANYA sulit membatasi waktu jika berlibur ke Bandung. Karena daya tariknya yang cukup banyak dari makanan, pakaian, dan yang cukup terkenal adalah sepatu lokalnya di Cibaduyut.

Kawasan ini dikenal sebagai deretan toko sepatu terpanjang di Asia. Hasil produk sepatu cibayudut Bandung tidak kalah dengan merek luar negeri. Buktinya dengan banyaknya turis domestik yang datang ke sini termasuk mantan wakil presiden Jusuf Kalla.

Berada di daerah selatan Bandung kira kira dari Alun Alun Bandung sekitar 15 menit. Kawasan ini awalnya terkenal dengan sentral sepatu kulit.

Untuk menuju ke Cibaduyut tidak sulit. Ditandai dengan patung sepatu yang besar di depan perempatan sebelum memasuki jalan Cibaduyut Bandung. Dengan adanya patung yang Sepatu memudahkan untuk para pengunjung untuk bisa sampai ke cibaduyut bandung, karena patung sepatu merupakan lambang atau ciri khas dari jalan cibaduyut dan patung sepatu satu-satunya yang ada di kota Bandung. Pantung sepatu cibaduyut merupakan akses pintu masuk menuju dari jalan Cibaduyut Bandung.

Sepanjang Jalan Cibaduyut Bandung berdiri toko toko yang menjual dan menerima pesanan sepatu Cibaduyut Bandung ini. Semua ukuran sepatu dapat dibuatkan di sini. Daerah ini terkenal karena harga yang mereka tawarkan cukup murah, dan kwalitas yang cukup bagus.

Kita bisa melihat toko-toko yang berjejer memajang dagangan yang didominasi oleh tas dan sepatu. Kalau masuk ke dalamnya, kita dapat menemukan lebih banyak lagi. Ada pakaian termasuk jaket kulit, tas kulit, tas gendong, dompet, ikat pinggang, boneka, sandal, bahan kulit untuk mebuat sepatu atau sendal dan lain-lain.

Keistimewaan dari Cibaduyut adalah bisa memesan sesuai dengan yang Anda inginkan. Harganya pun bervariasi, mulai dari puluhan ribu saja sampai dengan ratusan ribu rupiah, itu pun masih bisa di tawar. Dengan kualitas yang bagus juga. Karenanya, dengan kualitas yang terjamin prodk dari Cibaduyut sangat terkenal hingga ke Asia.

Mumi 300 Tahun Jadi Obyek Wisata di Papua


MUMI kepala suku di Lembah Baliem, suku di Wamena, Papua, berumur ratusan tahun diijinkan keluarga untuk disaksikan masyarakat luas. Hal ini pun menjadi daya tarik baru bagi para pelancong di Papua.

Di Kabupaten Jayawijaya sendiri sedikitnya ada dua mumi kepala suku yang sudah dijadikan objek benda bersejarah dan daya tarik bagi wisatawan domestik maupun mancanegara. Yaitu mumi Winmontok Mabel di Desa Jiwika dan mumi Werapak Elosak di Desa Aikima.

Kini mumi kepala suku yang dapat disaksikan masyarakat luas bertambah menjadi tiga mumi. Karena bertembah dengan mumi Aloka Hubi di Desa Araboda, kampung Bauntagima Distrik Assologaima kabupaten Jayawijaya yang diperkirakan berumur tiga ratus lima puluh tahum.

Selama ini mumi ini dikeramatkan keluarga dan keturunannya serta tidak di ijinkan untuk di kunjungi dan dipamerkan kepada masyarakat umum.

Mumi tersebut diletakkan dalam bungkusan kawat khas lalu ditempatkan dekat dengan perapian guna menjaga kehangatan dan serangan hama tikus yang telah menggerogoti sebagian tubuh mumi tersebut.

Yahones Kurisi, salah satu anak cucu keturunan kepala suku Alouka Hubi dari suku Hubi-Kurisi dan Wantik-Wentete menyatakan bahwa berdasarkan kepercayaan mereka kepala suku perang Alouka Hubi rela mengorbankan dirinya saat wafat agar dikeringkan dan dijadikan mumi. Hal ini dilakukaannya untuk menyelamatkan suku yang berada di Lembah Baliem Wamena yang saat itu selalu digenangi air.

Sehingga melalui jasad yang telah dikeringkan tersebut, air Lembah Baliem pun menjadi kering dan dapat di tumbuhi tanaman serta pepohonan bagi oleh keturunannya. Hingga kini lembah baliem tidak lagi digenangi air.

Sementara itu Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Jayawijaya. Alpius Wetipo, menyambut baik diijinkannya mumi Alouka Hubi untuk didata sebagai benda bersejarah dan dijadikan objek wisata bagi pemerintah daerah. Dengan demikian mumi tersebut akan mendapatkan perhatian dan perawatan yang lebih baik sehingga tidak bertambah rusak kondisinya.

Kondisi mumi Alouka Hubi saat ini, kulit wajah dan badan masih utuh walaupun sebagian kaki dan pergelangan kaki sudah agar rusak dimakan rayap. Hal ini menjadi benda bersejarah masyarakat pegunungan yang pernah memiliki kepercayaan yang teguh pada masa itu, dengan menjadikan tubuh mereka mumi untuk menyelamatkan anak cucu mereka.

Tuesday 19 July 2011

DAGADU "MATA" JOGJA


Cara dagadu melihat dunia, melihat dunia lewat kacamata smart-smile-djokdja
Sejak awal kelahirannya, Dagadu Djokdja telah memposisikan diri sebagai produk cinderamata alternatif dari Djokdja dengan mengusung tema utama: Everything about Djokdja. Ya artefaknya, bahasanya, kultur kehidupannya, maupun remeh-temeh keseharian yang terjadi di dalamnya. Terminologi “alternatif” digunakan untuk membedakan produk Dagadu Djokdja dengan cinderamata lain dengan karakteristik : memberi bingkai estetika pada hal-hal keseharian yang dianggap sederhana dan remeh; mengungkapkan gagasan dengan gaya bermain-main yang mudah dipahami; memberi penekanan pada asfek keatraktifan melalui bentuk-bentuk sederhana yang mencolok; memilih citra craft atau kerajinan ketimbang fabrikan, baik melalui material yang digunakan maupun unsur-unsur desain dari pemilihan warna hingga finishing.

Mungkin kita bisa mendapat gambaran bagaimana dunia yang universal dan berskala internasional dilihat dan diformulasikan oleh wong jogja, yang notabene mencintai jogjanya. Sejumlah disain seperti Absolut Djokdja: Love Djokdja Absolutely (1997) dan East or West, Djokdja is the best (1996) memberi gambaran bahwa dagadu memandang jogja dengan mesra, bukan dengan tatapan tidak percaya diri. Namun sikap kritis tetap melekat, karena disain dagadu sebisa mungkin memuat pesan yang smart.

Dengan begitu, realitas jogja dimunculkan lewat pengadopsian tema-tema universal, atau setidaknya dekat dengan wacana internasional namun tetap ada unsur jogjanya. Gambaran tentang Jogja yang nginternasional juga dihadirkan kembali lewat visualisasi yang sudah dikenal luas. Bukankah kita sebelumnya pernah mengenal disain dari merk minuman Absolute Vodka? Dalam iklannya, visualisasi botol sangat kental sekali. Dalam Absolut Djokdja , peran botol tetap dipertahankan dalam mewadahi secuil ke-jogja-an. Dengan imbuhan kata-kata Love Djokdja Absolutely dagadu mencoba menyampaikan bahwasanya keindahan Jogja nggak kalah dengan kenikmatan seteguk Vodka yang citarasanya bisa diterima secara internasional. Hampir mirip, penggunaan ikon juga dipakai pada disain MP Malioboro, Please (1995). Pada tahun itu serial MP (Melrose Place) memang lagi ngetop. Maka ikon ini sangat eye catching. Dengan bangga, tanpa bermaksud primodialis, dagadu ingin mengilustrasikan kalau Jogja secara mutlak mempunyai citarasa yang juga diterima dunia internasional.

Realita masyarakat juga ditampilkan secara cerdik dengan mengadopsi idiom-idiom internasional. Kalau di Inggris punya sebutan Slow but sure, orang Jogja tampaknya tidak keberatan menggambarkan potret dirinya dalam kalimat Alon-alon waton on time (1994) bukan lagi alon-alon waton kelakon. Disain tersebut memang terkesan membela diri, atau setidaknya menampik anggapan bahwa orang jogja itu lelet, nggak cak-cek, malas. Tema senada juga tampak pada disain How Slow can you go! (1998). Lewat pesan yang disampaikan disain itu, Dagadu ingin mengutarakan bahwa wong Jogja itu penuh pikir panjang dan perenungan sebelum melakukan tindakan. Sebab kalau tinggal di Jogja, orang relatif punya banyak waktu untuk berpikir dan merenung. Tak jarang, hasil perenungan panjang itu hasilnya lebih memuaskan, lebih mantap. Jadi, alon-alon tak mengapa, waton on time…
Bagi Dagadu, kekurangan bisa saja dijadikan suatu kebanggaan. Keabstrakan bisa dimanfaatkan untuk meninggikan mutu, tanpa terkesan tinggi hati. Seperti halnya disain As you wish! As yo wis! Terserah! (1998) yang mengandaikan suatu mentalitas pasrah dan kurang mau berusaha. Kekurangan atau kemalasan lantas dijadikan idiom yang sedikit lebih cerdas dengan mengkait-kaitkannya dengan idiom yang berbau internasional.
dagadu.co.id

Djokdja 1001 Nama


Sekiranya bisa disepakati jikalau salah satu pembentuk identitas adalah nama, sejatinya nama memberikan pembeda antara sesuatu dengan sesuatu lainnya, meskipun sering juga dijumpai beberapa orang dengan nama yang sama. 

Konon nama juga merupakan doa atau pengharapan dari si pemberi nama. Misalnya saja orang tua memberi nama kepada anaknya atau sebuah perusahaan melabelkan merk pada hasil produksinya. 

Beberapa fenomena nampaknya menuju pada titik jika segala sesuatu di dunia ini membutuhkan nama sebagai identitas, sehingga bisa juga dimaknai jika nama adalah bagian dari kebudayaan.

Jogja mempunyai banyak nama. Yogyakarta, Jogjakarta, Yogya, Jogja, Ngayogyakarta, Yojo, Djokdja dan lain sebagainya. Perkembangan nama ini konon dibagi menjadi 3 tahapan. 

Nama Ngayogyakarta diperkirakan muncul tahun 1755, ketika Pangeran Mangkubumi yang bergelar Sri Sultan Hamengku Buwono I mendirikan Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Kraton yang berdiri di Alas Bering itu merupakan wujud Perjanjian Giyanti yang dilakukan dengan Pakubuwono III dari Surakarta. 

Nama Yogyakarta secara resmi telah dipakai sejak awal kemerdekaan Indonesia. Ketika menjadi ibukota Indonesia pada tahun 1949, kota yang juga bergelar kota pelajar ini sudah disebut Yogyakarta. 

Sri sultan Hamengku Buwono IX juga menggunakan nama Yogyakarta ketika mengumumkan bahwa kerajaan ini merupakan bagian dari Republik Indonesia. 

Berbagai penamaan muncul kemudian, seperti Yogja, Jogja, Jogya dan Yogya. Bisa dikatakan bahwa variasi nama itu muncul akibat pelafalan yang berbeda-beda antar orang dari berbagai daerah di Indonesia. 

Uniknya, hampir semua orang bisa memahami tempat yang ditunjuk meski cara pengucapannya berbeda.


Monday 18 July 2011

Singing about Indonesia’s culture to the world

On weekends, most children and teenagers living in big cities like Jakarta like to spend their time hanging out in malls.

But not this gang of kids. They spend 8 hours every Saturday and Sunday (and Fridays, too, sometimes) partaking in a rather uncommon activity: singing. Believe it or not, these children love singing and dancing so much they would rather skip family holidays than miss out on choir practice. Meet the Glee Club of Indonesia: The Cordana’s Indonesian Children’s Choir (PSAI, Paduan Suara Anak-anak Indonesia).

Established by Aida Swenson, one of Indonesia’s noted musicians, the PSAI’s mission is to focus on reviving Indonesian folk music, reshaping and changing it into a new form of singing and dancing for children.

In the capable hands of these children, the Sundanese folk song Es Lilin has been turned into an attractive singing and dancing performance. One of the choir’s masterpieces is the Rampai Aceh synchronized dance.

The children perform this fast-paced and thrilling theatrical show with such exuberance that they always receive the longest applause on their tours overseas.

For the children, choir practice is more than just singing and dancing. It is a lesson in discipline and hard work. “When I started, I found it very difficult,” says Karel, aged 12.

But Joseph Lumbangaol, Karel’s proud father and one of the organizers for PSAI, says his son won’t go on weekend family outings anymore because he hates to skip choir practice.

When asked what they wish to accomplish with the choir, some of the children give answers way beyond their age. Bramantya for example hopes that singing Indonesian folk songs will remind Indonesia’s younger generation to love their own culture.

“Indonesia’s culture will be in our hands, when the older generation is gone, so it’s our responsibility too,” says Bramantya.

“Who says children can’t do anything? This is what we do now, to preserve the culture of Indonesia,” another choir singer, Claudia, says proudly.

Singing songs from different ethnic groups and religions, teaches these youngsters to be tolerant.

Yet their journey is filled with challenges, one of them being music arrangement. According to Aida Swenson, it is very difficult to find a scholarly musical arranger in Indonesia, who can provide the arrangement for folk music. Folk music consists of simple melodies that need to be transformed into choral work, without altering the soul of the music itself.

Because musical education in Indonesia is lacking, the PSAI sometimes needs to seek for foreign support to make arrangements for their music.

“We need to draw more attention to musical research and education in Indonesia,” says Swenson, a request which echoes the opinion of many other musicians in the country.

From July 22 to July 13, PSAI Cordana will be on tour again: this time to the US for a concert in the prestigious Strathmore Hall, Washington DC, and to Canada to attend Festival 500, a world festival of choral music. Their tour is based on a movement called “Youth in Connection” by Nusantara Foundation, an Indonesia-US friendship organization. The foundation promotes a spirit of cross-religious and cross-cultural cooperation, which PSAI Cordana fits very well.

Angklung for the world


The world record for the largest angklung ensemble was set in Washington DC after 5,182 people of various nationalities turned up on Saturday to shake the traditional Indonesian bamboo musical instruments to the tune of We are the World.
The event took place during the Indonesian Festival held in an open field at The Mall a few blocks away from the White House.
Announcing the official entry, the adjudicator from the Guinness Book of Records said, “You’re unbelievable. And to think that you have never played the instrument before.”
Thousands of people responded to an invitation by the Indonesian Embassy in Washington to join in the record-breaking feat. The throng included Indonesians, Washington DC residents, friends of Indonesia and a handful of tourists.
The embassy had initially promised the Guinness Book of World Records a turnout of 5,000. There was a moment of hesitation when only 1,600 people had registered online by Friday. Many turned up on Saturday without registering.
Those who came spent half an hour in the scorching heat, with temperatures above 90 degrees Fahrenheit (32 degrees Celsius), to learn and practice the instruments before they got it right and had satisfied the adjudicators that it was worthy of a world record title. Each participant was given an angklung that could emit one note and each of the seven notes was designated with the name of Indonesia’s main islands.
Helping the largely novice but enthusiastic players was angklung maestro Daeng Udjo, who flew in from Indonesia. He guided the players with hand movements indicating when each group should shake its angklungs. The ensemble of amateurs practiced with familiar Western tunes including “Country Road” to help build their confidence (and more importantly Udjo’s confidence) before going for the record.
As their reward, they went home with the angklung, a batik scarf for the women and a batik head band for the men and a certificate from the Guiness Book and the Indonesian Embassy recognizing their part in setting the world record.
“This is what multiculturalism is all about,” ambassador Dino Pati Djalal said regarding the theme of the Indonesia Festival and his decision to set the world record.
The day-long festival saw a performance by the famed 1980s duo Air Supply, rapper Raheem Davaughn, the Brazilian Batala percussion band and Indonesian entertainers including Sherina Munaf and the Elfa Singers.

A Rockin’ Time In Jakarta


This year’s Java Rockin’ Land is set to take place July 22-24 to bring an epic lineup of international headliners to the Big Durian:
30 Seconds to Mars
American rock band 30 Seconds to Mars will be making its first trip to Indonesia to perform on the first day of the festival. Hailing from Los Angeles, California, the group was founded in 1998 by frontman Jared Leto, who also plays rhythm guitar, and his brother Shannon on drums.
Mars released its self-titled debut album in 2002, producing two singles “Capricorn (A Brand New Name)” and “Edge of the Earth,” which started the band’s mainstream success. They released their second album three years later entitled “A Beautiful Lie.” Their latest studio album, “This Is War,” was released in 2009. The album’s first single was “Kings and Queens.” The band is planning to go on a long hiatus after finishing their current tour.
Good Charlotte
The festival is the first Jakarta show for many of the anticipated bands, but not for the pop-punk’s Good Charlotte, which visited the capital in 2007.
Founded in 1996 by identical twins Joel (vocals) and Benji Madden (guitar), the band features Paul Thomas on bass, Dean Butterworth on drums and Billy Martin also on guitar.
Good Charlotte’s second album, released in 2002 and titled “The Young and the Hopeless,” produced the singles “Lifestyles of the Rich and Famous” and “Anthem” and introduced them to the mainstream.
Their third album, “The Chronicles of Life and Death,” came out in 2004. In 2007, they released “Good Morning Revival,” while their last album “Cardiology” was released late last year.
Neon Trees
Neon Trees will also take a bite of Jakarta’s heart with their energetic tunes. The Provo, Utah, alternative rock band is motored by Tyler Glenn (vocals, keyboards), Chris Allen (guitar), Branden Campbell (bass guitar, vocals) and Elaine Bradley (drums, percussion, vocals).
Their debut album, “Habit” was released last year, producing the platinum-single “Animal.”
The Cranberries
Now, get your flannel shirts, ripped jeans, Dr. Martens boots and corduroy jackets, ready, because Java Rockin’ Land is set to flash back to the 90s.
The festival will showcase seasoned band The Cranberries, who will be taking the stage on the second day of the festival. The Irish rock band first came to international prominence in the 1990s with their debut album “Everybody Else Is Doing It, So Why Can’t We?”
During their stint in the music industry, the band has produced top singles such as “Linger,” “Dreams,” “Zombie,” “Ode to My Family,” “Salvation” and “Promises.”
Currently, the band, which is run by Dolores O’Riordan (vocals), Noel Hogan (guitar), Mike Hogan (bass) and Fergal Lawler (drums), is working on an all-new album.
Also on the lineup of music industry veterans are English band Happy Mondays and Australian group Frente, who will be playing on the last day of the festival.
The lineup also includes many Indonesian bands, including Sheilaon7, a popular band hailing from Yogyakarta. They would be playing on the mainstage, alongside the famous international bands aforementioned. GNFI caught up with them and ask, how does it feel to be playing on the same stage with all these famous bands, and this is what they say “Yang pasti excited, bangga & suatu kehormatan bisa perform & kasih kontribusi rock versi Sheilaon7 di salah satu festival rock berkualitas terbesar. Rock adalah musik yang universal, semoga musik So7 bisa menambah keragaman java Rockin’land” (It is an honor for us. We’re certainly excited & proud, to be able to perform & showcase Sheilaon7’s version of rock in one of the biggest rock festival. Rock is a universal music, may SO7’s music add to the diversity of Java Rockin’land”
Good luck boys! And to all the other Indonesian bands performing at Java Rockin’land, rock on dudes! Make us proud!
goodnewsfromindonesia.org

Saturday 16 July 2011

Pesona Sungai dengan Sedikit Jeram di Green Canyon


GREEN Canyon merupakan objek wisata yang memiliki beraneka ragam pesona, dan daya tarik wisata yang mampu menarik puluhan ribu wisatawan setiap tahun.

Green Canyon memiliki keunikan tersendiri. Dari perjalanannya menggunakan ketinting dari dermaga selama 30 menit, kita akan melewati sungai dengan air berwarna hijau tosca. Nama Green Canyon dipopulerkan oleh seorang Prancis pada 1993.

Nama aslinya Cukang Taneuh. Kita disuguhi pemandangan sungai dengan sedikit jeram dengan alur sempit di mana perahu sudah tidak bisa meneruskan perjalanan karena cadiknya. Di sini, air sangat jernih berwarna kebirua-biruan.

Untuk melihat keunikan yang sesungguhnya; kita disarankan terus ke atas dengan berenang -tersedia penyewaaan ban- atau merayap di tepi batu. Perjalanan ini sepenuhnya aman, anak-anak usia enam tahun ke atas dapat ikut menggunakan ban dan panduan life guard pemilik perahu yang kita sewa.

Sepanjang perjalanan, kita akan terus berada di cekungan dengan dinding terjal di kanan kiri; sebagian dinding menyerupai gua dengan atap yang sudah runtuh.

Di bagian tertentu masih tersisa stalaktit-stalaktit di mana air tanah menetes. Setelah beberapa ratus meter berenang; kita akan melihat beberapa air terjun kecil di kiri kanan yang sangat menawan.

Jika Anda masih penasaran dengan ujung jalan, Anda akan sampai di sebuah tempat dengan gua yang dihuni oleh kelelawar. Di sepanjang alur ini, Anda dapat berenang sepuasnya.

Jika Anda suka menyelam, maka bawalah snorkel dan fin, sebab banyak cekungan-cekungan untuk ditelusuri dan dinikmati untuk melihat ikan-ikan di dasar lubuk.

Sementara untuk Anda yang senang meloncat dari ketinggian lima meter, terdapat batu besar dengan dasar lubuk dalam yang sering dipakai untuk atraksi loncat.

Momen terbaik untuk berkunjung ke Green Canyon adalah beberapa saat setelah masuk musim kemarau. Sebab saat musim hujan dikhawatirkan airnya akan berwarna cokelat. Mei sampai September merupakan momen yang baik untuk berkunjung ke Green Canyon.

Kendaraan menuju Green Canyon juga saat ini sangat mudah, bila ingin menggunakan kendaraan umum, terdapat bus dari Jakarta ke Pangandaran. Dari Pangandaran, Anda hanya perlu menyambung kendaraan sepanjang 25 km.

Eksotisme Provinsi Papua


DI SEBUAH dataran luas di antara pegunungan hijau, puluhan orang telah berkumpul. Tiap orang menggenggam senjata tajam atau panah, lengkap dengan segala atribut perangnya.

Kesan garang terlukis jelas di wajah-wajah mereka. Sebuah perang suku bakal pecah di Lembah Baliem, Papua. Betul saja, setelah mengatur strateginya masing-masing, perang tak dapat dihindari. Kedua kelompok saling mengejar dan melepaskan anak panah. Sambil mengacung-acungkan senjata di tangannya, mereka terus berteriak-teriak untuk membakar semangat. Sementara wanita dan anak-anak berlarian untuk menyelamatkan diri.

Anda pasti sepakat, kejadian itu sudah pasti sesuatu yang amat menyedihkan. Tapi anehnya, saat menyaksikan peristiwa di atas, perasaan yang muncul justru sebaliknya. Lho kok bisa gitu? Sebab, perang yang tampaknya beringas itu sebenarnya bukanlah perang sungguhan, melainkan sebuah tari atau tepatnya simulasi perang yang menjadi bagian atraksi yang diperagakan oleh Suku Dani dalam acara Festival Budaya Lembah Baliem di Wamena, Papua.

Membentang di antara lekukan-lekukan Pegunungan Tengah Jayawijaya, Lembah Baliem sudah sejak lama menjadi tempat penyelenggaraan festival budaya tahunan terbesar di tanah Papua ini. Di lembah inilah, masyarakat Suku Dani hidup harmonis dan menyatu dalam pelukan pegunungan yang mengelilingnya serta alam Papua yang indah menawan. Selain sebagai 'rumah', Lembah Baliem kerap menjadi arena perang oleh suku-suku yang bertikai dan menjadi arena pembantaian mereka yang berperang demi kejayaan suku yang dibanggakannya.

Keberadaan Lembah Baliem sendiri baru muncul ke permukaan pada tahun 1930-an dengan adanya laporan yang menyebutkan bahwa terdapat sekelompok suku-suku primitif yang hidup di lembah itu. Sekitar 10 tahun kemudian, lembah yang terisolasi dari pengaruh asing ini makin dikenal oleh dunia luar, setelah majalah National Geographic menempatkan lembah ini di peta dunia pada majalah terbitannya.

Hal ini juga menandakan untuk pertama kalinya lembah sepanjang 80 km dan lebar 20 km ini masuk dalam peta dunia. Sejak itu pula banyak orang yang penasaran untuk mendatangi Lembah Baliem untuk mempelajari berbagai hal yang berkaitan dengan lembah ini. Mereka umumnya berprofesi sebagai social worker, seperti guru, perawat, dokter, serta misionaris yang menyebarkan agama Nasrani.

Bukan War-a-holic

Perang menjadi sesuatu yang tak terpisahkan dalam kehidupan masyarakat Suku Dani serta suku lain di Papua. Bagi mereka, perang memiliki beberapa makna yang dalam. Selain sudah menjadi tradisi turun temurun, perang dianggap bukan sekedar ajang untuk saling adu kekuatan antarsuku saja, tapi juga lambang kesuburan dan kesejahteraan. Artinya, bila tak ada perang maka jangan harap panen dan ternak babi akan berhasil dan sehat. Kalau sudah begini, mereka pun harus bersiap diri untuk menghadapi musim paceklik.

Di sisi lain, perang juga menjadi ajang untuk mencari popularitas sebuah suku. Dengan memenangkan perang, nama suku akan makin terkenal dan ditakuti oleh suku-suku lain. Sedangkan bagi para pemuda, perang suku dianggap sebagai ajang mencari jati diri untuk menjadi manusia sejati, ulet dan bermartabat demi kemajuan wilayahnya, baik sekarang dan masa depan. Pecahnya perang di kawasan ini sendiri disebabkan oleh beberapa hal yang kebanyakan karena masalah sengketa batas wilayah, wanita, atau karena wim (hewan piaraan).

Bila perang akan terjadi maka Lembah Baliem-lah arena yang kerap digunakan. Ini bukan berarti suku-suku itu war-a-holic atau selalu mencari keributan. Karena sesungguhnya, mereka pun ingin hidup damai dan tentram seperti masyarakat lain agar bisa membangun wilayahnya.

Ragam Atraksi Menarik
Sejak digelar pertama kalinya pada tahun 1991, atraksi tari perang atau dim dalam bahasa Suku Dani, menjadi atraksi utama pada setiap pelaksanaan Festival Budaya Lembah Baliem. Uniknya, tema yang diusung dalam tari ini bukan tentang dendam atau permusuhan melainkan sesuatu yang bersifat positif yang populer dengan sebutan Yogotak Hubuluk Motog Hanorogo (harapan akan hari esok yang harus lebih baik dari hari ini).

Festival Lembah Baliem berlangsung sekitar 3 hari dan diselenggarakan setiap bulan Agustus. Tari ini biasanya diikuti oleh sekitar 26 suku yang mendiami sekitar Lembah Baliem. Masing-masing peserta terdiri dari 30 - 50 kelompok dan tiap kelompoknya berjumlah 50 - 100 orang. Para peserta masing-masing bersenjata tombak, panah dan parang, lengkap dengan pakaian tradisional dan lukisan di wajah serta pernak pernik perang.

Selain tari perang, Festival Budaya Lembah Baliem menawarkan 6 acara penting lain yang hampir selalu digelar. Salah satunya adalah pertunjukan Pikon atau musik tradisional yang digelar untuk menghibur seluruh pengunjung. Terbuat dari hite atau kayu, lagu-lagu yang dimainkan dengan Pikon mengisahkan tentang kehidupan manusia. Uniknya, meski kelihatan mudah, temyata tidak semua orang Papua mampu memainkan alat musik ini. Alat musik ini mampu memunculkan suara-suara yang nyaris sama dengan suara binatang.

Beragam permainan tradisional turut memeriahkan Festival Lembah Baliem. Acara ini tak hanya dapat disaksikan, tapi bila pengunjung atau para wisatawan berminat, bisa turut serta dalam permainan. Memanah, melempar sege alias tongkat ke target yang telah ditentukan, puradan, permainan menggulirkan roda dari anyaman rotan dan sikoko, sebuah lomba melemparkan pion ke sasaran yang telah ditentukan, adalah permainan yang kerap ditampilkan dalam festival ini.

Tak jarang, Festival Lembah Baliem bertambah marak berkat acara pendukung yang tak kalah seru dan unik lainnya. Sebut saja kerapan babi atau lomba pacuan babi, lomba menganyam serta beragam acara lainnya.

Real Challenge
Untuk menyaksikan keunikan yang ditawarkan Festival Budaya Lembah Baliem serta keelokan alam Papua merupakan tantangan tersendiri dan membutuhkan persiapan yang khusus. Perjalanan panjang yang harus ditempuh dari Jakarta - Wamena, jelas membutuhkan biaya, waktu serta resiko yang tergolong tinggi. Belum lagi, kondisi selama di sana, yang bisa dikatakan, jauh dari segala fasilitas yang mampu memanjakan tubuh. Sudah pasti hal itu akan menambah panjang daftar challenge yang harus dihadapi.

Namun, semua keraguan dan kesulitan itu akan terbayar lunas usai menyaksikan seluruh rangkaian acara festival yang unik di Lembah Baliem. Sebab hanya di sinilah Anda bisa menyaksikan secara langsung kehidupan Suku Dani yang sesungguhnya. Di sini pula Anda dapat menyatu dan berbaur dengan masyarakat yang masih memegang teguh tradisinya yang mungkin jauh berbeda dengan apa yang kita miliki. Semua yang dijumpai di Lembah Baliem pastinya akan membuat perjalanan Anda akan selalu terkenang sepanjang masa.

Objek Wisata Menarik di Sulawesi Utara


PROVINSI Sulawesi Utara terletak di ujung Pulau Sulawesi, dan berbatasan dengan Negara Filipina di sebelah utara. Ibu Kota Sulawesi Utara adalah Manado.

Sulawesi Utara terdapat banyak objek wisata yang terkenal.

Gunung Mahawu
Gunung Mahawu adalah gunung berapi stratovolcano yang terletak di timur gunung berapi Gunung Lokon-Gunung Empung di Sulawesi Utara, Indonesia. Gunung Mahawu memiliki lebar 180 m dan kedalaman kawah 140 m dengan dua kerucut Piroklastik di lereng utara. Letusan kecil terjadi dit tahun 1789. Tahun 1994 terjadi letupan lumpur fumarol dan aktivitas geyser yang terjadi sepanjang danau kawah yang berwarna kehijau-hijauan.

Danau Linow
Danau Linouw terletak di area wilayah administratif kota Tomohon, Propinsi Sulawesi Utara, Indonesia. Danau ini terletaak dekat Proyek Tenaga Listrik Panas Bumi Lahendong. Danau ini unik karena waktu siang airnya warna-warni (atau danau tiga warna). Danau ini merupakan salah satu obyek wisata yang menarik di tanah Toar Lumimuut.

Pantai Likupang
Pantai Likupang – Bitung – Sulawesi Utara, sebagai obek wisata sangat terkenal dengan keindahan alam -nya dengan pesona pantai yang nyaman serta pernah heboh ,ditemukan penyu hijau (chelonia mydas) yang sangat langka.

pantai likupangBersantai di Pantai yang berpasir putih halus dan bersih ,Menyelam dan snorkling dapat dilakukan di pantai ini atau melanjutkan wisata ke Taman Laut di Pulau Bangka 30 menit dengan perahu motor atau kepantai lainnya di Likupang yaitu Balubu, Lihaga, Masabora, Sahaung dan Pulisang

Lokasi Pantai Likupang di 48 Km dari Kota Menado, tepatnya di Kecamatan Likupang ,Kabupaten Bitung Paling Utara Sulawesi Utara.

Sungai Nimanga
Sungai Nimanga terletak di desa Timbukar – Minahasa – Sulawesi Utara, obyek wisata yang terlengkap, Wisata Alam, Sungai , Air terjun, Hutan, Budaya , dan olah raga , arung jeram yang baik karena sungai ini memiliki grade III-V . yaitu karakteristik sungai jeram – flat water, jadi cukup aman diarungi. Apabila perahu terbalik dari jeram, lebih mudah untuk penyelamatan karena di depan sudah pasti ada flat water.

Selain itu menyuguhkan wisata alam , sungai dengan keindahan sungai yang berkelok-kelok bersumber dari dua air terjun yaitu Air Terjun Tincep 70 mtr dan Air Terjun Timbukar 90 mtr, disekitar sungai Nimanga terdapat dataran agak datar tempat camping, hutan lebat menghiasi sepanjang Sungai Nimanga diserta sahutan satwa liar misalnya berbagai jenis Burung, Monyet khas Sulut, dan Tarsius . Sejak dahulu kala , Masyarakat sekitar kawasan ini sangat cekatan membuat saguer sejenis tuak.

Bunaken
Bunaken adalah sebuah pulau seluas 8,08 km² di Teluk Manado, yang terletak di utara pulau Sulawesi, Indonesia. Pulau ini merupakan bagian dari kota Manado, ibu kota provinsi Sulawesi Utara, Indonesia. Pulau Bunaken dapat di tempuh dengan kapal cepat (speed boat) atau kapal sewaan dengan perjalanan sekitar 30 menit dari pelabuhan kota Manado. Di sekitar pulau Bunaken terdapat taman laut Bunaken yang merupakan bagian dari Taman Nasional Bunaken. Taman laut ini memiliki biodiversitas kelautan salah satu yang tertinggi di dunia. Selam scuba menarik banyak pengunjung ke pulau ini. Secara keseluruhan taman laut Bunaken meliputi area seluas 75.265 hektare dengan lima pulau yang berada di dalamnya, yakni Pulau Manado Tua, Pulau Bunaken, Pulau Siladen, Pulau Mantehage berikut beberapa anak pulaunya, dan Pulau Naen. Meskipun meliputi area 75.265 hektare, lokasi penyelaman (diving) hanya terbatas di masing-masing pantai yang mengelilingi kelima pulau itu.

Taman laut Bunaken memiliki 20 titik penyelaman (dive spot) dengan kedalaman bervariasi hingga 1.344 meter. Dari 20 titik selam itu, 12 titik selam di antaranya berada di sekitar Pulau Bunaken. Dua belas titik penyelaman inilah yang paling kerap dikunjungi penyelam dan pecinta keindahan pemandangan bawah laut.

Sebagian besar dari 12 titik penyelaman di Pulau Bunaken berjajar dari bagian tenggara hingga bagian barat laut pulau tersebut. Di wilayah inilah terdapat underwater great walls, yang disebut juga hanging walls, atau dinding-dinding karang raksasa yang berdiri vertikal dan melengkung ke atas. Dinding karang ini juga menjadi sumber makanan bagi ikan-ikan di perairan sekitar Pulau Bunaken.Indriyani A. Rachman 13:42, 27 April 2010 (UTC).

Pulau Lembeh
Pulau Lembeh adalah sebuah pulau masuk wilayah administrasi Kota Bitung di Provinsi Sulawesi Utara, Indonesia. Pulau Lembeh saat ini secara administratif terbagi dua kecamatan yaitu Kecamatan Lembeh Utara dan Lembeh Selatan. Pulau ini terkenal karena menjadi lokasi penyelaman wisatawan asing di Sulawesi Utara selain Bunaken.

Watu Pinawetengan
Di tempat inilah, sekitar
1000 SM terjadi pembagian sembilan sub etnis Minahasa yang meliputi suku Tontembuan, Tombulu, Tonsea, Tolowur, Tonsawang, Pasan, Ponosakan, Bantik dan Siao. Selain membagi wilayah, para tetua suku-suku tersebut juga menjadikan tempat ini untuk berunding mengenai semua masalah yang dihadapi.

Goresan-goresan di batu tersebut membentuk berbagai motif dan dipercayai sebagai hasil perundingan suku-suku itu. Motifnya ada yang berbentuk gambar manusia, gambar seperti alat kemaluan laki-laki dan perempuan, motif daun dan kumpulan garis yang tak beraturan tanpa makna.

Menurut kepercayaan masyarakat sekitar, bentuk batu ini seperti orang bersujud kepada Tuhan Yang Maha Esa. Selain itu, bentuk batu ini juga seperti peta pulau Minahasa. Batu ini menurut para arkeolog, dipakai oleh nenek moyang orang Minahasa untuk berunding. Maka tak heran, namanya menjadi Watu Pinawetengan yang artinya Batu Tempat Pembagian.

Batu ini bisa dikatakan tonggak berdirinya subetnis yang ada di Minahasa dan menurut kepercayaan penduduk berada di tengah-tengah pulau Minahasa. Bahkan beberapa orang yang rutin mengunjungi Watu Pinawetengan, ada ritual khusus yang diadakan tiap 3 Januari untuk melakukan ziarah. Sementara itu, karena nilai sejarah dan budaya yang kental, tiap 7 Juli dijadikan tempat pertunjukan seni dan budaya yang mulai terkikis di Minahasa.

Bukit Kasih
Bukit Kasih adalah salah satu tempat pariwisata di provinsi Sulawesi Utara. Di Bukit Kasih ini terdapat monumen. Bukit Kasih ini terletak sekitar 50 km arah selatan Manado, tepatnya di desa Kanonang, kabupaten Minahasa. Bukit Kasih ini merupakan bukit belerang yang masih alami. Ditempat ini perasaan kasih wisatawan akan digugah.

Belajar Membuat Topeng di Desa Wisata Bubong


GUNUNGKIDUL- Desa wisata Bubong, Putat Patuk Gunungkidul, Yogyakarta, terkenal dengan daerah penghasil kerajinan topeng, handycraf, dan souvenir, hampir 90 persen penduduknya berprofesi sebagai pengrajin. Meski liburan, banyak dikunjungi wisatawan namun belum mampu mendongrak perolehan order pesanan.

Menurut salah seorang pelopor kerajinan topeng, Slamet Riyadi, mengatakan dari 154 KK hampir seluruhnya pengrajin topeng dan handycraf. "Hampir seluruh penduduk bekerja sebagai perajin topeng bahkan di sini anak-anak tidak ada yang menganggur, mereka semua mandiri dari bekerja menjadi perajin topeng," ungkap pemilik rumah handycraf, Bina Karya, Jumat (13/7/2011)

Pengrajin di desa Bubong, biasanya menggunakan berbagai kayu. Kayu sengon dibuat hiasan seperti gantungan kunci, patung dan wayang golek. Sedangkan kayu pule biasanya digunakan untuk kerajinan topeng. "Khusus kayu pule sangat baik untuk dibuat topeng karena pori-porinya halus dan padat sehingga lebih mudah untuk dibuat motif batik karena lunak bahannya," imbuhnya.

Banyaknya kerajinan yang dihasilkan oleh pengrajin mampu menarik wisatawan. Kedatangan para wisman dari luar daerah ke centra kerajinan handycraf dan souvenir terbesar di Gunungkidul ini tidak berdampak naiknya pesanan atau order. “Kunjungan dalam beberapa hari ini ramai. Untuk pesanan belum ada peningkatan, masih stabil-stabil saja seperti hari normal,” ujarnya.

Meski order dari wisatawan sepi, Slamet masih berproduksi untuk pesanan rutin ke Bali, Jakarta dan Yogakarta. Sedangkan untuk pesanan produk kerajinan kayu dari luar negeri masih terlihat sepi. “Stabil, omzet stabil di Rp 20 juta per bulan,” lanjut Slamet.

Para pengrajin saat agak terganggu produksinya, karena kayu sebagai bahan utama sebagian harus didatangkan dari luar kabupaten, misalnya dari JawaTimur. “Kami sudah mencoba menanam kayu Pule, beberapa waktu lalu, namun itu baru bisa dipanen 50 tahun ke depan, kami mendatangkan dari Pacitan untuk menutup produksi,” tuturnya.

Thursday 7 July 2011

Merpati Bisa Kenali Wajah Manusia


Burung merpati bisa mengenali wajah manusia. Demikian hasil sebuah penelitian terbaru mengenai perilaku hewan yang dilakukan oleh Dalila Bovet dari University of Paris Ouest Nanterre La Défense dan timnya.

Penelitian dilakukan di sebuah taman di Paris. Dua peneliti yang secara fisik mirip tetapi mengenakan jas laboratorium berbeda warna memberi makan pada sekelompok merpati. Seorang peneliti membiarkan merpati memakan umpan yang diberikan, sementara peneliti lainnya mengusir merpati yang hendak makan. Percobaan ini dilakukan beberapa kali.

Hasilnya, merpati selalu menghindari peneliti yang mengusir meskipun peneliti itu sudah tidak lagi mengusir mereka. Kedua peneliti sempat mencoba saling bertukar jas. Akan tetapi, hasilnya tetap sama. "Sepertinya merpati, tanpa latihan khusus, bisa mengenali karakteristik wajah orang, bukan jas lab yang menutupi 90 persen tubuh," kata Bovet.

Para peneliti berteori bahwa kemampuan merpati ini tumbuh setelah merpati berhubungan dengan manusia dalam waktu yang cukup lama. "Sejak awal penjinakan hingga hidup bertahun-tahun di kota," ujar Bovet.

Beberapa penelitian sudah menemukan bahwa ada spesies burung yang memiliki kemampuan ingatan dan pengenalan. Pada tahun 2009, burung sejenis gagak dapat mengenali isyarat mata manusia yang sudah dikenalnya. Ia juga bisa mengenali gerakan tubuh seperti menunjuk. Burung tersebut bisa mengenali makanan ketika mata seseorang melihat bolak-balik dari makanan ke burung. Spesies tersebut juga merespons ketika orang menunjuk ke arah makanan. Meskipun demikian, burung itu tidak merespons ketika orang asing yang memberi petunjuk.

Wednesday 6 July 2011

Luarbiasa! Rekor Sejarah RI Rebut 15 Emas Olimpiade Tunagrahita


Satu kata: heroik! Dengan segala keterbatasan, perjuangan atlet tunagrahita (berkebutuhan khusus, red) Indonesia sukses merebut medali 15 emas, 13 perak, 11 perunggu di Olimpiade Tunagrahita, Athena. Sebuah rekor dalam sejarah.

Bersaing dengan 7500 atlet terbaik tunagrahita dari 184 negara di dunia, putera-puteri tunagrahita Indonesia patut menjadi contoh dan pemicu semangat bagi atlet normal.

Mereka secara heroik menaklukkan lawan-lawannya dan hingga berita ini disusun berhasil merebut medali 15 emas, 13 perak, dan 11 perunggu.

Hasil ini merupakan rekor dalam sejarah partisipasi para atlet tunagrahita Indonesia di Olimpiade Tunagrahita. Sebelumnya dalam Olimpiade Tunagrahita XII di Shanghai putera-puteri Indonesia mempersembahkan 9 emas, 9 perak, 4 perunggu.

"Prestasi mereka sungguh membanggakan, membuat merah putih berkibar dan Indonesia Raya berkumandang di antara bangsa-bangsa sedunia. Dengan kekurangan yang mereka miliki, mereka sanggup mengharumkan nama bangsa," ujar Dubes RI di Athena Ahmad Rusdi kepada detikcom, Minggu (3/7/2011).

Dubes langsung mengontak ke Jakarta untuk melaporkan hasil yang telah diraih oleh putera-puteri tunagrahita Indonesia di arena olimpiade Athena.

"Saya langsung menelpon Menpora, Mensesneg dan Ajudan Presiden, memohon perkenan Bapak Presiden dan Ibu Negara untuk menerima wakil-wakil bangsa yang telah berjuang dalam olahraga di arena Olimpiade Tunagrahita Athena ini," demikian Dubes, yang sejak awal meluangkan waktu untuk menyemangati para atlet di arena pertandingan.

Berikut ini daftar rincian perolehan sementara Indonesia hingga berita ini disusun:

15 Medali Emas

Jumlah medali emas sebanyak ini sebanyak 3 buah dipersembahkan masing-masing oleh Stephanie Handoyo, Fitriani dan Christian Sitompul dari cabang olahraga renang.

Sebanyak 6 medali emas hasil perjuangan Ati Hasyim, Komarudin, Alex/Noni, Komarudin/Ati dari cabang bulutangkis tunggal putera, tunggal puteri dan ganda campuran.

Dari cabang tenis meja tunggal puteri dan ganda campuran, Desi Pradita, Marwan/Desi Pradita dan Mimin Aminah/Donald berhasil merebut 3 medali emas untuk mengumandangakan Indonesia Raya dan mengibarkan merah putih di antara bangsa-bangsa.

Tiga medali emas lainnya datang dari cabang olahraga bocce, hasil jerih payah Fadillah Sobri (Divisi M11), Rico (dIVISI m18), dan Vivi Indriyani/Ika Solehati (Divisi F03).

13 Medali Perak

Perolehan medali perak sebanyak 2 buah berasal dari cabang atletik lari 200 meter putera oleh Agus Adi Wiranata dan Mahmudi. Selanjutnya lari 400 meter putera oleh Lailatul Kadar, lari 200 meter oleh Silvia Latuputty (Divisi F08) dan estafet 4x100 meter (Agus Adi Winata, Lailatul Kadar, Mahmudi, dan Silvia Latuputty).

Dari cabang renang, Daniel Nugroho menyumbangkan perak di lintasan 50 meter dan 100 meter. Sedangkan Fitriani menambah perak dari lintasan 50 meter. Tambahan satu medali perak dari Alex Wiranata dari bulutangkis.

Medali perak berikutnya dari cabang bocce (Vivi Indriyani), bola basket (tim), tenis meja tunggal putera (Ronald Pasendra) dan tenis meja tunggal puteri (Mimin Aminah).

11 Perunggu

Sementara itu perolehan medali perunggu dari cabang atletik lari 100 meter (Prisma Septian Anisya), lari 100m (Agus Adi Winata), lompat jauh (Silvia Latuputty), dan lari estafet 4x100 meter.

Selanjutnya dari bulutangkis (Noni Marlena), tenis meja tunggal putera (Marwan), tenis meja ganda putera (Marwan/Ronald), tenis meja ganda puteri (Mimin Aminah/Desi Pradita).

Kemudian dari cabang olahraga bocce medali perunggu disumbangkan berturut-turut oleh Ika Solehati, Vivi Indriyani, dan pasangan Rico/Fadillah Sobri.

detik.com