Friday 28 January 2011

Do’a Untuk Orang Tua


Ya Allah,
Rendahkanlah suaraku bagi mereka,
Perindahlah ucapanku di depan mereka.
Lunakkanlah watakku terhadap mereka dan
Lembutkanlah hatiku untuk mereka.

Ya Allah,
Berilah mereka balasan yang sebaik-baiknya
Atas didikan mereka padaku dan
Pahala yang besar
Atas kesayangan yang mereka limpahkan padaku,
Peliharalah mereka
Sebagaimana mereka memeliharaku.

Ya Allah,
Apa saja gangguan yang telah mereka rasakan,
atau kesusahan yang mereka derita karena aku,

atau hilangnya sesuatu hak mereka karena perbuatanku,
jadikanlah itu semua
Penyebab rontoknya dosa-dosa mereka,
Meningginya kedudukan mereka dan
Bertambahnya pahala kebaikan mereka dengan perkenan-Mu, ya Allah
sebab hanya Engkaulah
yang berhak membalas kejahatan dengan kebaikan berlipat ganda.

Ya Allah,
Bila magfirah-Mu telah mencapai mereka sebelumku,
Izinkanlah mereka memberi syafa'at untukku.
Tetapi jika magfirah-Mu lebih dahulu mencapai diriku,
Maka izinkahlah aku memberi syafa'at untuk mereka,

sehingga kami semua berkumpul
Bersama dengan santunan-Mu
di tempat kediaman yang dinaungi kemulian-Mu, ampunan-Mu serta
rahmat-Mu.

Sesungguhnya Engkaulah
yang memiliki Karunia Maha Agung,
serta anugerah yang tak berakhir dan
Engkaulah yang Maha Pengasih Diantara semua pengasih.

****

Mari kita kenang dosa kepada orang tua kita.
Siapa tahu hidup kita dirundung nestapa karena kedurhakaan kita.
Karena kita sudah menghisap darahnya, tenaganya, airmatanya, keringatnya.


Istighfar, istighfarlah
Barangsiapa yang matanya pernah sinis melihat orangtuanya.
Atau kata-katanya sering mengiris melukai hatinya, atau yang jarang memperdulikan dan mendoakannya.
Percayalah bahwa anak yang durhaka siksanya didahulukan didunia ini.

Istighfar yang pernah mendholimi ibu bapaknya.

Astaghfirullahal Adhiim
Astaghfirullahal Adhiim

Ilmu Pembersih Hati


Ada sebait do'a yang pernah diajarkan Rasulullah SAW dan disunnahkan untuk dipanjatkan kepada Allah Azza wa Jalla sebelum seseorang hendak belajar. do'a tersebut berbunyi : Allaahummanfa'nii bimaa allamtanii wa'allimnii maa yanfa'uni wa zidnii ilman maa yanfa'unii. dengan do'a ini seorang hamba berharap dikaruniai oleh-Nya ilmu yang bermamfaat.

Apakah hakikat ilmu yang bermamfaat itu? Secara syariat, suatu ilmu disebut bermamfaat apabila mengandung mashlahat - memiliki nilai-nilai kebaikan bagi sesama manusia ataupun alam. Akan tetapi, mamfaat tersebut menjadi kecil artinya bila ternyata tidak membuat pemiliknya semakin merasakan kedekatan kepada Dzat Maha Pemberi Ilmu, Allah Azza wa Jalla. Dengan ilmunya ia mungkin meningkat derajat kemuliaannya di mata manusia, tetapi belum tentu meningkat pula di hadapan-Nya.

Oleh karena itu, dalam kacamata ma'rifat, gambaran ilmu yang bermamfaat itu sebagaimana yang pernah diungkapkan oleh seorang ahli hikmah. "Ilmu yang berguna," ungkapnya, "ialah yang meluas di dalam dada sinar cahayanya dan membuka penutup hati." seakan memperjelas ungkapan ahli hikmah tersebut, Imam Malik bin Anas r.a. berkata, "Yang bernama ilmu itu bukanlah kepandaian atau banyak meriwayatkan (sesuatu), melainkan hanyalah nuur yang diturunkan Allah ke dalam hati manusia. Adapun bergunanya ilmu itu adalah untuk mendekatkan manusia kepada Allah dan menjauhkannya dari kesombongan diri."

Ilmu itu hakikatnya adalah kalimat-kalimat Allah Azza wa Jalla. Terhadap ilmunya sungguh tidak akan pernah ada satu pun makhluk di jagat raya ini yang bisa mengukur Kemahaluasan-Nya. sesuai dengan firman-Nya, "Katakanlah : Kalau sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menuliskan) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (dituliskan) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula)." (QS. Al Kahfi [18] : 109).

Adapun ilmu yang dititipkan kepada manusia mungkin tidak lebih dari setitik air di tengah samudera luas. Kendatipun demikian, barangsiapa yang dikaruniai ilmu oleh Allah, yang dengan ilmu tersebut semakin bertambah dekat dan kian takutlah ia kepada-Nya, niscaya "Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat." (QS. Al Mujadilah [58] : 11). Sungguh janji Allah itu tidak akan pernah meleset sedikit pun!

Akan tetapi, walaupun hanya "setetes" ilmu Allah yang dititipkan kepada mnusia, namun sangat banyak ragamnya. ilmu itu baik kita kaji sepanjang membuat kita semakin takut kepada Allah. Inilah ilmu yang paling berkah yang harus kita cari. sepanjang kita menuntut ilmu itu jelas (benar) niat maupun caranya, niscaya kita akan mendapatkan mamfaat darinya.

Hal lain yang hendaknya kita kaji dengan seksama adalah bagaimana caranya agar kita dapat memperoleh ilmu yang sinar cahayanya dapat meluas di dalam dada serta dapat membuka penutup hati? Imam Syafii ketika masih menuntut ilmu, pernah mengeluh kepada gurunya. "Wahai, Guru. Mengapa ilmu yang sedang kukaji ini susah sekali memahaminya dan bahkan cepat lupa?" Sang guru menjawab, "Ilmu itu ibarat cahaya. Ia hanya dapat menerangi gelas yang bening dan bersih." Artinya, ilmu itu tidak akan menerangi hati yang keruh dan banyak maksiatnya.

Karenanya, jangan heran kalau kita dapati ada orang yang rajin mendatangi majelis-majelis ta'lim dan pengajian, tetapi akhlak dan perilakunya tetap buruk. Mengapa demikian? itu dikarenakan hatinya tidak dapat terterangi oleh ilmu. Laksana air kopi yang kental dalam gelas yang kotor. Kendati diterangi dengan cahaya sekuat apapun, sinarnya tidak akan bisa menembus dan menerangi isi gelas. Begitulah kalau kita sudah tamak dan rakus kepada dunia serta gemar maksiat, maka sang ilmu tidak akan pernah menerangi hati.

Padahal kalau hati kita bersih, ia ibarat gelas yang bersih diisi dengan air yang bening. Setitik cahaya pun akan mampu menerangi seisi gelas. Walhasil, bila kita menginginkan ilmu yang bisa menjadi ladang amal shalih, maka usahakanlah ketika menimbanya, hati kita selalu dalam keadaan bersih. hati yang bersih adalah hati yang terbebas dari ketamakan terhadap urusan dunia dan tidak pernah digunakan untuk menzhalimi sesama. Semakin hati bersih, kita akan semakin dipekakan oleh Allah untuk bisa mendapatkan ilmu yang bermamfaat. darimana pun ilmu itu datangnya. Disamping itu, kita pun akan diberi kesanggupan untuk menolak segala sesuatu yang akan membawa mudharat.

Sebaik-baik ilmu adalah yang bisa membuat hati kita bercahaya. Karenanya, kita wajib menuntut ilmu sekuat-kuatnya yang membuat hati kita menjadi bersih, sehingga ilmu-ilmu yang lain (yang telah ada dalam diri kita) menjadi bermamfaat.

Bila mendapat air yang kita timba dari sumur tampak keruh, kita akan mencari tawas (kaporit) untuk menjernihkannya. Demikian pun dalam mencari ilmu. Kita harus mencari ilmu yang bisa menjadi "tawas"-nya supaya kalau hati sudah bening, ilmu-ilmu lain yang kita kaji bisa diserap seraya membawa mamfaat.

Mengapa demikian? Sebab dalam mengkaji ilmu apapun kalau kita sebagai penampungnya dalam keadaan kotor dan keruh, maka tidak bisa tidak ilmu yang didapatkan hanya akan menjadi alat pemuas nafsu belaka. Sibuk mengkaji ilmu fikih, hanya akan membuat kita ingin menang sendiri, gemar menyalahkan pendapat orang lain, sekaligus aniaya dan suka menyakiti hati sesama. Demikian juga bila mendalami ilmu ma'rifat. Sekiranya dalam keadan hati busuk, jangan heran kalau hanya membuat diri kita takabur, merasa diri paling shalih, dan menganggap orang lain sesat.

Oleh karena itu, tampaknya menjadi fardhu ain hukumnya untuk mengkaji ilmu kesucian hati dalam rangka ma'rifat, mengenal Allah. Datangilah majelis pengajian yang di dalamnya kita dibimbing untuk riyadhah, berlatih mengenal dan berdekat-dekat dengan Allah Azza wa Jalla. Kita selalu dibimbing untuk banyak berdzikir, mengingat Allah dan mengenal kebesaran-Nya, sehingga sadar betapa teramat kecilnya kita ini di hadapan-Nya.

Kita lahir ke dunia tidak membawa apa-apa dan bila datang saat ajal pun pastilah tidak membawa apa-apa. Mengapa harus ujub, riya, takabur, dan sum'ah. Merasa diri besar, sedangkan yang lain kecil. Merasa diri lebih pintar sedangkan yang lain bodoh. Itu semua hanya karena sepersekian dari setetes ilmu yang kita miliki? Padahal, bukankah ilmu yang kita miliki pada hakikatnya adalah titipan Allah jua, yang sama sekali tidak sulit bagi-Nya untuk mengambilnya kembali dari kita?

Subhanallaah! Mudah-mudahan kita dimudahkan oleh-Nya untuk mendapatkan ilmu yang bisa menjadi penerang dalam kegelapan dan menjadi jalan untuk dapat lebih bertaqarub kepada-Nya.
manajeman qolbu***

Kepedulian Pemimpin


Saat menjadi khalifah, setiap malam Umar bin Khattab selalu berkeliling untuk melihat lebih dekat bagaimana kondisi masyarakat yang sebenarnya. Dari pemantauannya itu, semakin terbuka mata, hati, dan telinga sang khalifah untuk bergerak cepat menanggapi realitas yang terjadi.

Belajar adalah kata kunci dari suatu keberhasilan, hatta dengan kepemimpinan. Keberhasilan Umar bin Khattab sebagai figur pemimpin saleh adalah karena beliau belajar untuk memfungsikan mata, hati, dan telinga dengan sebenarnya. Tidak tabu dan alergi pada kritikan dari siapa pun, bahkan dari rakyat jelata sekalipun.

Suatu hari sang khalifah menyamar, lalu menghampiri seorang ibu yang anaknya kelaparan. Yang didapat Umar justru kata-kata pedas untuknya. "Sungguh zalim Umar bin Khattab karena membiarkan rakyatnya kelaparan!" Marahkah Umar? Ternyata tidak. Di lain waktu, bahkan Umar sangat berterima kasih kepada seorang pemuda yang mengacungkan pedang seraya berkata, "Apabila Umar bin Khattab menyimpang, pedang ini yang akan meluruskannya."

Kritikan seorang ibu yang anaknya kelaparan dan seorang pemuda kepada Umar adalah wujud kecintaan mereka terhadap pemimpinnya. Tidak tebersit sedikit pun dari benak Umar bahwa orang-orang yang mengkritiknya bermaksud menjatuhkannya. Umar sadar, sebagai seorang pemimpin harus ada orang-orang yang selalu mengingatkannya apabila dia menyimpang, dan berbagai kritikan yang dialamatkan kepadanya adalah cambuk untuk berbuat yang lebih baik lagi.

Para pemimpin kita di level apa pun sebenarnya mampu menunaikan tugasnya dengan baik selama mereka mau belajar dari perjalanan dan kesuksesan pemimpin-pemimpin saleh. Salah satunya Umar bin Khattab, bagaimana kepribadiannya, kesehariannya, dan tanggung jawabnya sebagai seorang pemimpin. Terkecuali, para pemimpin kita sudah buta mata, hati, telinga, dan tidak mau belajar bagaimana mengayomi, melaksanakan tanggung jawab, dan memenuhi hak-hak masyarakat dari para pemimpin sebelumnya.

Kalau kenyataannya seperti itu, alamat kehancuran tinggal menunggu waktu, dan rakyat pun tidak bisa disalahkan apabila kemudian melakukan perlawanan untuk menegakkan kebenaran, kejujuran, dan keadilan. Suatu kezaliman besar manakala seorang pemimpin hanya memenuhi nafsu duniawi, mementingkan kebutuhan pribadi, keluarga, kerabat, dan mengabaikan kepentingan publik. Hati dan telinganya tidak pernah digunakan untuk memahami dan mendengarkan apa yang menjadi keluh kesah, penderitaan, dan kebutuhan rakyatnya.

Masih ada waktu. Mudah-mudahan para pemimpin kita mau belajar dan lebih mementingkan urusan masyarakat daripada pribadi dan golongannya.
republika.co.id

Saturday 22 January 2011

MENJADIKAN AGAMA SEBAGAI PEMBELA


Membela agama sebagai ideologi yang diyakini (believed ideology) sudah lumrah dan memang menjadi kewajiban bagi setiap pemeluknya. Bahkan dalam Islam ada konsep jihad dengan berbagai varian praktiknya sebagai upaya untuk membela agama. Konsep tujuan syariat Islam, mashlahah juga bermuara pada pemeliharaan lima hal pokok, yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Dalam hal ini, apabila terjadi benturan antara menjaga jiwa dan agama, maka yang didahulukan adalah menjaga atau mempertahankan agama. Inilah yang dipraktikkan oleh Rasulullah berjihad dengan berkorban segalanya, nyawa pun menjadi taruhan. Semua dilakukan dalam rangka membela dan menjaga agama Islam.

Agama-agama samawi, khususnya Islam, begitu memuliakan budaya pengorbanan dan kesyahidan. Sejatinya, sikap rela berkorban dan jihad memiliki makna dan penafsiran yang khas dalam kamus agama-agama ilahi. Berbeda dengan ideologi dan pemikiran materialistik, yang hanya menilai segala sesuatu dengan nilai-nilai duniawi, agama-agama samawi, menilai bahwa pengorbanan seorang insan tidak bisa diukur dengan standar materi, pengorbanan hanya bisa ditimbang dengan nilai-nilai transendental. Karena itu, keyakinan pada alam akhirat memiliki peran yang amat penting bagi insan beragama. Terdapat banyak ayat Al-Quran yang memuji manusia-manusia yang mengorbankan harta, jiwa, dan raganya untuk berjihad di jalan Allah. Al-Quran menyebut mereka sebagai kelompok yang berjual-beli dengan Tuhannya. Pengorbanan mereka akan ditebus oleh Yang Maha Kuasa dengan surga dan ridha-Nya.

Agama memang wajib dibela dan dipelihara dengan segala upaya dan cara yang tentunya disesuaikan dengan kapasitas pemeluknya, konteks zaman dan keadaan. Pada dasarnya umat beragama bukan hanya berkewajiban membela agama yang diyakininya, akan tetapi lebih dari itu, mereka juga wajib menjadikan agama tersebut sebagai pembela dan pemilhara bagi individu dan masyarakat, peradaban, bahkan alam semesta.

Menjadikan agama sebagai pembela berarti melaksanakan ajaran agama dengan mengimplementasikan dan mentransformasikan nilai-nilai etik (ethic values) yang terkandung di dalam syariat agama. Ajaran agama yang mengandung nilai keadilan (justice), perdamaian (peace), persamaan (equality), kebersamaan (togetherness), persaudaraan (brotherhood), persatuan (unity), toleransi (tolerance), dan lain sebagainya yang intinya mengupayakan kesejahteraan (prosperous) dan kebahagiaan (happiness) dunia dan akhirat bagi umat manusia.

Ibadah shalat misalnya, di dalamnya setidaknya mengandung nilai kebersihan, kejujuran, kedisiplinan, persamaan, kebersamaan, persatuan, kasih sayang dan sebagainya. Nilai-nilai ini sifatnya masih abstrak, karena masih tersimpan dalam hati dan pikiran pelaksananya atau bahkan belum terserap olehnya dan masih tersimpan di dalam gerakan-gerakan sholat itu sendiri. Apabila nilai-nilai ini diejawantahkan dalam kehidupan individu maupun sosial masyarakat, maka ia akan membela dan menjaga pemeluknya.

Keberlangsungan umat beragama khususnya, dan umat manusia dengan hasil karyanya itu tergantung pada komitmennya memegang dan melaksanakan nilai moral etik yang sebagian besar terkandung di dalam ajaran agama. Kalau moralitas agama ini ditanamkan dalam hati secara mendalam, kemudian ditransformasikan dalam kehidupan sehari-hari, baik sebagai individu maupun sebagai anggota sosial masyarakat, maka ia akan menopang keberlangsungan hidup dan kehidupan serta peradaban manusia. Karena ia adalah pilar eksistensi sebuah bangsa dan perdabannya. Tetapi apabila agama hanya dijadikan dogma dan ideologi yang hanya diyakini, ritual-ritual rutin tanpa implementasi nilainya, maka ia hanya menjadi identitas belaka. Bahkan ia hanya menjadi penyekat dan menjadi batas dikotomi antara umat manusia yang satu dengan yang lain.

Paradigma Beragama

Penulis mempunyai pemahaman bahwa setidaknya ada dua paradigma dalam beragama. Pertama, paradigma beagama demi manusia untuk Tuhan dan kedua, beragama demi Tuhan untuk kemanusiaan. Dua paradigma ini mempunyai implikasi dan konsekuensi masing-masing.

Paradigma beragama demi manusia untuk Tuhan berarti beragama adalah melayani Tuhan. Ritual-ritual keagamaan yang diajarkan oleh para Nabi adalah dalam rangka melayani Tuhan. Umat beragama yang berpegang pada paradigma ini berharap dengan melayani Tuhan di dunia, maka di akhirat kelak Tuhan akan memberikan pelayanan kepada mereka dengan pelayanan yang sebaik mungkin.

Klausul “demi manusia” dalam paradigma ini berarti bahwa beragama ini tidak dilandasi niat yang tulus untuk menggapai ridho dan rahmat Tuhan, akan tetapi hanya karena manusia. Ritual atau ibadah yang dilakukan hanya karena tidak enak atau malu, karena riya’ atau sum’ah dengan sesama manusia.

Pemahaman beragama seperti ini hanya berorientasi untuk mencari keselamatan di akhirat. Agama seolah tidak mengandung unsur kemanusiaan. Beragama hanya menjalin hubungan vertikal (vertical relationship) dengan Tuhan tanpa ada usaha untuk menjalin hubungan harmonis dan konstruktif horizontal antara manusia dengan lainnya dan manusia dengan alam semesta.

Secara tidak langsung paradigma ini menganggap bahwa Tuhan minta untuk disembah oleh hamba-Nya. Tuhan membutuhkan ritual-ritual dari hamba-Nya. Seoalah Tuhan mengajak transaksi, bahwa apabila engkau sebagai hamba mau menyembah, maka akan Aku beri imbalan, tapi apabila tidak mau menyembah, maka akan aku siksa. Seolah-olah Tuhan membutuhkan ibadah dari hamba-Nya. Padahal sama sekali Tuhan tidak membutuhkan apa pun dari hamba-Nya. Bahkan seandainya seluruh makhluk di langit dan bumi dan di kolong antara langit dan bumi ini ingkar dan tidak menyembah Tuhan, sedikit pun tidak akan mengurangi keagungan-Nya. Sebaliknya, seandainya mereka semua menyembah dan taat kepada Tuhan, sedikit pun tidak akan menambah keagungan-Nya. Tuhan menurunkan syariat melalui para nabi dengan tanpa tendensi dan pretensi kecuali demi keharmonisan sesama umat manusia dan antara manusia dengan makhluk hidup dan alam semesta serta demi kesejahteraan dan kebahagiaan mereka.

Paradigma kedua adalah paradigma beragama demi Tuhan untuk kemanusiaan. Beragama demi Tuhan untuk kemanusiaan berangkat dari pemahaman bahwa Tuhan menurunkan agama adalah untuk kepentingan manusia. Visi dan misi agama adalah untuk manusia. Agama adalah untuk manusia, Tuhan tidak mempunyai kepentingan apa pun dengan menurunkan agama ke muka bumi ini.

Ibadah yang disyariatkan untuk hambanya pada dasarnya adalah untuk manusia itu sendiri. Artinya dengan melaksanakan ritual atau ibadah itu diharapkan manusia dapat menangkap pesan moral dan nilai-nilai etik (ethic values) yang terkandung di dalamanya dan kemudian mentransformasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian umat beragama tidak cenderung bersikap dan bertindak amoral terhadap sesama manusia dan juga tidak bertindak destruktif terhadap alam semesta. Pemahaman dan aksi seperti ini, diharapkan dapat mendorong manusia untuk menjalin hubungan yang harmonis, konstruktif dan saling membahu dan membantu sesama lainnya, baik sesama pemeluk agama maupun dengan pemeluk agama lain dan kasih sayang dengan seluruh makhluk.

Paradigma ini mendasari semua aktifitas ritual keagamaan dan transformasi nilai etiknya pada Tuhan. Artinya, semuanya dilakukan tulus dan ikhlas demi Tuhan, demi menggapai rahmat dan ridha-Nya (la maqshuda wa la ghayata illa li ibtighoi mardhotillah wa rahmatihi), dan untuk kemanusiaan, untuk kebaikan sesama manusia khususnya, dan alam semesta pada umumnya. Adapun surga dan neraka adalah konsekuensi logis, dan bukan tujuan dari beragama. Dengan berpegang pada paradigma ini maka umat beragama diharapkan dapat menjadikan agama sebagai pemelihara dan pembela bagi kelangsungan eksistensi dirinya dan peradabannya serta alam semesta.

Jadi beragama bukan hanya berorientasi pada mencari keselamatan di akhirat. beragama tidak hanya menjalin hubungan vertirtikal (vertical relationship) dengan Tuhan tanpa ada usaha untuk menjalin hubungan harmonis dan konstruktif horizontal antara manusia dengan lainnya dan manusia dengan alam semesta.

Beragama berarti membumikan sifat jamaliyah (aesthetic) atau keindahan Tuhan. Umat beragama harus mampu menafsirkan dan menjabarkan keindahan Tuhannya dengan sifat, sikap, dan perilakunya dalam kehidupan sehari-hari, baik individu maupun dalam kehidupan sosial berasyarakat lebih-lebih dalam berperilaku dengan seluruh makhluk.

Sebagai kholifah, manusia bertugas membumikan nilai-nilai keindahan yang sudah terkandung dan tergambarkan di dalam nama dan sifat Tuhan. Kalau umat beragama mampu memproyeksikan dan membumikan keindahan, ke rahmahan Tuhan dalam dirinya dan mentransformasikannya dalam kehidupannya, berarti dia telah menjadikan agama sebagai pemelihara dan pembela.
alrasikh.wordpress.com

HAKIKAT DOA ADALAH SYUKUR


Do’a adalah salah satu bentuk tawakkal seorang mukmin terhadap Allah SWT setelah berusaha semaksimal mungkin untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkan. Dengan do’a manusia bisa meminta apapun yang menjadi keinginannya dan sebagai rasa rendah diri dan butuh akan rahmat dan pertolongan Tuhan-nya. Setelah berusaha manusia menyerahkan hasil dari usahanya itu kepada Allah SWT dan tentu manusia akan selalu berharap Allah memberikan yang terbaik sebagai buah dari usahanya itu. Dan di sinilah sebenarnya letak keagungan Allah, memberikan kesempatan manusia untuk berusaha mendapatkan sesuatu dan Dia berjanji mengabulkan do’a yang manusia panjatkan setelah berusaha. Dengan demikian manusia pada prinsipnya tetap diperintahkan berusaha mengejar impiannya namun di balik semua itu juga diwajibkan menyerahkan hasil ikhtiarnya kepada Allah SWT.

Do’a adalah suatu permohonan yang memiliki nilai spiritualitas tinggi. Permohonan yang merupakan bentuk permintaan tulus dari seorang hamba kepada Tuhan-nya. Berkat do’a yang kita panjatkan, atas izin Allah akan bisa mengubah segalanya, mampu memberikan manusia apa yang menjadi keinginannya. Tentu do’a yang sarat ruh yang meyebabkan do’a itu memiliki probabilitas tinggi untuk dikabulkan. Terlebih jika do’a itu dipanjatkan oleh seorang yang jauh dari maksiat, selalu taat akan perintah Tuhan dan merasa dekat dan mengharapkan cintanya. Ibarat melempar sesuatu yang ada di seberang, semakin dekat maka semakin besar pula kemungkinan mengenai tepat sasaran. Sama halnya do’a yang kita panjatkan tidak jauh dari amal perbuatan kita sehari-hari, kalau bagus maka akan bagus juga responsnya. Begitu juga dengan persangkaan hamba terhadap Tuhan-nya, jika ia panjatkan do’a dengan penuh keyakinan bahwa Allah akan mengabulkannya maka insya Allah do’a itu pun akan terkabulkan dan juga sebaliknya.

Hakikat Do’a

Hakikat sebuah doa tidak lain adalah rasa syukur hamba terhadap karunia Tuhan-nya. Dengan selalu menyukuri karunia Tuhan secara tidak langsung manusia menginginkan yang lebih dari itu tanpa harus mengatakannya. Melalui do’a yang kita panjatkan kepada-Nya menyimpan (tercover) permintaan kita agar diberikan berkah dari apa yang telah kita miliki sebelumnya. Hal itu karena Allah SWT maha tahu akan kebutuhan dan keinginan hambanya. Hal ini tentu harus dibarengi dengan rasa syukur yang sebenarnya, bukan hanya sekadar ucapan lisan tanpa ada realisasi nyata dari ucapan itu. Karena hal itu (syukur semu) tidak akan bernilai apa-apa di mata Allah Subhanahu wata’ala. Namun yang dimaksud dengan rasa syukur di sini berarti menggunakan semua karunia Tuhan untuk berbuat baik dan merasa cukup dengan karunia itu. Sehingga semua yang diberikan Tuhan kepada manusia dijadikan sebagai ladang untuk berbuat baik dan selalu berbuat baik.

Salah satu adab dalam berdo’a yaitu membaca tahmid yang tujuannya adalah untuk memuji Allah dan sebagai rasa syukur atas semua nikmat yang diberikan. Kemudian dilanjutkan oleh lantunan shalawat yang dimaksudkan sebagai bentuk rasa cinta kita kepada baginda Rasulullah Muhammad s.a.w sebagai tauladan baik manusia dan rasa terima kasih atas segala jasanya terhadap umat Islam. Dari aturan (adab) ini sesungguhnya kita memahami bahwa ketika seseorang itu menginginkan sesuatu, meminta tambahan dari apa yang telah ia dapatkan, terlebih dahulu harus berterima kasih kepada Dzat yang telah memberikan nikmat itu. Jadi sebenarnya dalam segala segi kita dididik untuk selalu menyukuri nikmat Tuhan bahkan dalam do’a sekalipun. Itu artinya syukur marupakan sesuatu yang urgen dan tidak bisa ditawar-tawar lagi. Barangsiapa memperoleh kenikmatan wajib baginya untuk berterima kasih pada pemberinya. Dalam kehidupan sehari-hari dapat kita ambil ibarat, andaikata ada seorang yang memberikan kita sesuatu dan kita terima sesuatu itu dengan wajah yang ceria lalu kita ucapkan ‘terima kasih’ kepadanya, apa yang akan terjadi? Sang pemberi akan merasa sangat bahagia karena merasa bahwa apa yang ia berikan bermanfaat dan diterima dengan baik. Dan lebih dari itu pemberi pun tentu akan tergerak dan termotivasi untuk memberikan sesuatu untuk yang kedua kalinya dan seterusnya.

Manfaat dari Syukur

Manfaat dari rasa syukur adalah akan kembali kepada kita, tidak yang lainnya. Sebagaimana penggalan ayat di atas, “wa man syakara fainnamâ yasykuru ‘ala nafsihi”, yaitu manfaat dari syukur akan diperoleh oleh orang yang bersyukur itu sendiri. Bahkan dengan menyukurinya kita akan mendapat kesempurnaan nikmat dan langgengnya nikmat itu dalam diri kita karena syukur berfungsi sebagai pengikat nikmat. Dan lebih dari itu kita akan memperoleh berkah (tambahan) nikmat serta memperoleh nikmat yang sebelumnya belum kita rasakan (dapatkan) dari Allah SWT. (al-Qurthuby dalam tafsirnya). Sehingga tidak ada alasan bagi manusia untuk tidak menyukuri nikmat Allah karena sesungguhnya di balik syukur itu tersirat panjatan doa pada sang Maha Kuasa agar nikmat itu terus kita rasakan. Bahkan kalau sampai kita tidak menyukuri nikmat yang kita peroleh kita tergolong orang yang kufur nikmat dan Allah menjanjikan siksa yang pedih. Na’udzubillahi min dzalik!

Sebagaiman do’a yang selalu dipanjatkan oleh Nabi Sulaiman a.s sebagai bentuk rasa syukur atas segala karunia Tuhan agar ia selalu diberikan ilham untuk selalu menyukurinya, untuk beramal shalih dan dimasukkan ke dalam golongan hamba yang shalih (QS. al-Naml [27]: 19). Dalam do’anya Nabi Sulaiman menyatakan kerendahannya di hadapan Tuhan, semua nikmat yang ia peroleh tiada lain adalah penberian dari Allah dan Dia lah dzat yang paling berhak menjaga dan atau mencabutnya. Dari situ kita dapat mengambil tauladan dari seorang nabi dan dijadikan sebagai motivasi untuk terus menyukuri nikmat Tuhan (Allah SWT). Kita gunakan kesempatan yang ada untuk berbuat baik, kita manfaatkan sisa umur untuk berlomba-lomba melakukan kebajikan, kita maksimalkan harta yang kita miliki untuk membantu kaum fakir lagi membutuhkan sebagai wujud terima kasih dan syukur kita atas karunia tuhan. Hal ini karena sesungguhnya apapun yang kita nafkahkan (untuk kebaikan) di jalan Allah, maka Dia lah yang akan menggantinya karena Allah adalah sebaik-baik pemberi rizki yang maha adil. Secara materi mungkin harta (nikmat) itu berkurang namun dibalik itu kita telah memiliki keuntungan yang luar biasa. Yaitu simpanan pahala (bekal/zad) di akhirat dan boleh jadi Allah menggantinya dengan rizki yang lebih banyak (halal dan baik) dari arah yang tiada disangka-sangka (min haitsu la yahtasib).

Rasa syukur kita terhadap nikmat Allah akan menjadi efektif jika kemudian menjadi sebuah kebajikan sosial. Semua yang dimiliki dimaksimalkan untuk berbuat kebaikan kepada sesama dengan didasari semangat kebersamaan dan kesadaraan (solidaritas). Semua potensi yang kita miliki kita gali dan digunakan sepenuhnya untuk memberikan manfaat kepada yang lain. Tentu ini adalah sebuah sikap yang arif yang tidak hanya mendatangkan kebahagian pribadi melainkan juga kemaslahatan sosial. Sehingga muncul sebuah ungkapan, the greatest happiness for the greatest number, kebahagain yang besar untuk masyarakat yang besar pula. Dengan demikian jika semua individu mampu menerapkan budaya syukur dalam hidupnya maka iklim bermasyarakat yang aman dan nyaman akan kita rasakan. Mereka yang memiliki harta berlimpah di-tasarufkan (digunakan) untuk kepentingan orang banyak. Mereka yang memiliki tanah yang lebar diwakafkan untuk kepentingan sosial misalnya mendirikan madrasah, TPA atau yang lainnya. Intinya, semua dimaksudkan untuk sebuah misi yang baik, selain sebagai wujud rasa syukur juga demi syiarnya agama di tengah masyarakat yang variatif. Sehingga esensi dari nilai luhur agama Islam sebagai rahmatan lil’âlamîn akan betul-betul terwujud dalam kehidupan sehari-hari. Dan hal ini yang nantinya akan menghantarkan bangsa Indonesia menuju kejayaan yang sebenarnya jika konsep ini dipegang teguh. Mudah-mudahan seperti itu nantinya.
alrasikh.wordpress.com

Siapa yang Membangun Kabah?


Kabah berkali-kali rusak sehingga harus berkali-kali dibongkar sebelum dibangun kembali. Di Museum Haramain, benda-benda itu disim pan. Ada kotak tempat menyimpan parfum yang dulu pernah mengisi ruangan Kabah. "Ruang Kabah isinya hanya tiga pilar dan kotak parfum itu,'' ujar Abdul Rahman, menunjuk pilar-pilar dan kotak yang letaknya berjauhan.

Petugas Museum Haramain di Ummul Joud, Makkah, itu mengantar kami keliling melihat koleksi museum. Museum ini menyimpan benda-benda dari Masjidil Haram dan Masjid Nabawi. Ada potongan pilar Kabah yang bentuknya sudah seperti kayu fosil berwarna cokelat tua, disimpan bersama kunci pintu Kabah dari kayu, juga berwarna cokelat tua. Pintu Kabah selalu dikunci dan pemegang kunci sudah turun-temurun dari satu keluarga, sejak sebelum Nabi lahir.

Tangga kuno yang pernah dipakai untuk masuk Kabah juga tersimpan di museum ini. Tersimpan pula pelapis Hajar Aswad serta pelapis dan pelindung Maqam Ibrahim. Jika orangorang berebut mencium pelindung Maqam Ibrahim, seharusnya yang layak dicium adalah yang tersimpan di museum ini karena usianya lebih tua dari pelindung yang sekarang dipasang.

Namun, tak ada anjuran mencium Maqam Ibrahim. Nabi hanya memberi contoh mencium Hajar Aswad.

Kotak parfum Kabah yang disimpan di museum ini juga berwarna cokelat tua. Sewaktu masih difungsikan di dalam Kabah, botol-botol parfum yang dipakai untuk mengharumkan ruangan Ka'bah disimpan di kotak itu.

Riwayat Kabah

Kabah awalnya dibangun oleh Adam dan kemudian anak Adam, Syist, melanjutkannya. Saat terjadi banjir Nabi Nuh, Kabah ikut musnah dan Allah memerintahkan Nabi Ibrahim membangun kembali. Al-Hafiz Imaduddin Ibnu Katsir mencatat riwayat itu berasal dari ahli kitab (Bani Israil), bukan dari Nabi Muhammad.

Kabah yang dibangun Ibrahim pernah rusak pada masa kekuasaan Kabilah Amaliq. Kabah dibangun kembali sesuai rancangan yang dibuat Ibrahim tanpa ada penambahan ataupun pengurangan. Saat dikuasai Kabilah Jurhum, Kabah juga mengalami kerusakan dan dibangun kembali dengan meninggikan fondasi. Pintu dibuat berdaun dua dan dikunci.

Di masa Qusai bin Kilab, Hajar Aswad sempat hilang diambil oleh anak-anak Mudhar bin Nizar dan ditanam di sebuah bukit. Qusai adalah orang pertama dari bangsa Quraisy yang mengelola Ka'bah selepas Nabi Ibrahim. Di masa Qusai ini, tinggi Ka'bah ditambah menjadi 25 hasta dan diberi atap. Setelah Hajar Aswad ditemukan, kemudian disimpan oleh Qusai, hingga masa Ka'bah dikuasai oleh Quraisy pada masa Nabi Muhammad.

Nabi Muhammad membantu memasangkan Hajar Aswad itu pada tempat semestinya.

Dari masa Nabi Ibrahim hingga ke bangsa Quraisy terhitung ada 2.645 tahun. Pada masa Quraisy, ada perempuan yang membakar kemenyan untuk mengharumkan Ka'bah. Kiswah Ka'bah pun terbakar karenanya sehingga juga merusak bangunan Ka'bah. Kemudian, terjadi pula banjir yang juga menambah kerusakan Ka'bah. Peristiwa kebakaran ini yang diduga membuat warna Hajar Aswad yang semula putih permukaannya menjadi hitam.

Untuk membangun kembali Kabah, bangsa Quraisy membeli kayu bekas kapal yang terdampar di pelabuhan Jeddah, kapal milik bangsa Rum. Kayu kapal itu kemudian digunakan untuk atap Kabah dan tiga pilar Kabah. Pilar Kabah dari kayu kapal ini tercatat dipakai hingga 65 H. Potongan pilarnya tersimpan juga di museum.

Empat puluh sembilan tahun sepeninggal Nabi (yang wafat pada 632 Masehi atau tahun 11 Hijriah), Ka'bah juga terbakar. Kejadiannya saat tentara dari Syam menyerbu Makkah pada 681 Masehi, yaitu di masa penguasa Abdullah bin Az-Zubair, cucu Abu Bakar, yang berarti juga keponakan Aisyah.

Kebakaran pada masa ini mengakibatkan Hajar Aswad yang berdiameter 30 cm itu terpecah jadi tiga.

Untuk membangun kembali, seperti masa-masa sebelumnya, Kabah diruntuhkan terlebih dulu. Abdullah AzZubair membangun Ka'bah dengan dua pintu. Satu pintu dekat Hajar Aswad, satu pintu lagi dekat sudut Rukun Yamani, lurus dengan pintu dekat Hajar Aswad. Abdullah bin Az-Zubair memasang pecahan Hajar Aswad itu dengan diberi penahan perak. Yang terpasang sekarang adalah delapan pecahan kecil Hajar Aswad bercampur dengan bahan lilin, kasturi, dan ambar.
Jumlah pecahan Hajar Aswad diperkirakan mencapai 50 butir.

Pada 693 Masehi, Hajjaj bin Yusuf Ath-Taqafi berkirim surat ke Khalifah Abdul Malik bin Marwan (khalifah kelima dari Bani Umayyah yang mulai menjadi khalifah pada 692 Masehi), memberitahukan bahwa Abdullah bin Az-Zubair membuat dua pintu untuk Ka'bah dan memasukkan Hijir Ismail ke dalam bangunan Ka'bah.

Hajjaj ingin mengembalikan Kabah seperti di masa Quraisy; satu pintu dan Hijir Ismail berada di luar bangunan Ka'bah. Maka, oleh Hajjaj, pintu kedua--yang berada di sebelah barat dekat Rukun Yamani--ditutup kembali dan Hijir Ismail dikembalikan seperti semula, yakni berada di luar bangunan Ka'bah.

Akan tetapi, Khalifah Abdul Malik belakangan menyesal setelah mengetahui Ka'bah di masa Abdullah bin AzZubair dibangun berdasarkan hadis riwayat Aisyah. Di masa berikutnya, Khalifah Harun Al-Rasyid hendak mengembalikan bangunan Ka'bah serupa dengan yang dibangun Abdullah bin Az-Zubair karena sesuai dengan keinginan Nabi. Namun, Imam Malik menasihatinya agar tidak menjadikan Ka'bah sebagai bangunan yang selalu diubah sesuai kehendak setiap pemimpin. Jika itu terjadi, menurut Imam Malik, akan hilang kehebatannya di hati kaum Mukmin.

Pada 1630 Masehi, Kabah rusak akibat diterjang banjir. Sultan Murad Khan IV membangun kembali, sesuai bangunan Hajjaj bin Yusuf hingga bertahan 400 tahun lamanya pada masa pemerintahan Sultan Abdul Abdul Aziz. Sultan inilah yang memulai proyek pertama pelebaran Masjidil Haram.

Replika mushaf di Museum ini tersimpan pula replika Quran mushaf Usmani yang bacaannya, susunan surah dan ayatnya, serta jumlah surah dan ayatnya dipakai sebagai panduan hingga sekarang. Yang berbeda cuma bentuk hurufnya.

Pada masa Khalifah Usman bin Affan (35 H) dibuatlah standardisasi penulisan Quran. Di masa itu, sahabatsahabat Nabi memiliki mushaf yang berbeda satu sama lain, baik dalam hal bacaan, susunan surah dan ayat, maupun jumlah surah dan ayat.

Mushaf yang dimiliki Ibnu Mas'ud, misalnya, tidak menyertakan Surat AlFatihah dan susunan surat yang berbeda. Surah keenam bukanlah Surah Al-An'am, melainkan Surah Yunus.

Quran Ali bin Abi Thalib juga tak memiliki Surah Al-Fatihah. Ali juga tak memasukkan surah ke-13, 34, 66, dan 96 ke mushafnya. "Ukuran mushaf Usman yang asli berbeda dari yang ini.
Ini hanya duplikat,'' ujar Abdul Rahman.
republika.co.id

The New Slogan: Wonderful Indonesia


With more than 17,000 islands and some of the richest biodiversity on earth, Indonesia is a natural paradise. To go along with its breathtaking natural scenery, the archipelago also boasts a hugely diverse range of cultures and religions.

Whether you want to take in the world’s highest diversity of coral species while diving the reefs of Raja Ampat in West Papua, stroll ancient temple compounds in Central Java or walk among real-life prehistoric dragons on Komodo Island in East Nusa Tenggara, Indonesia has something for travelers of all stripes.

How then, can you sum up this myriad of tourism riches in a single slogan.

This was the challenge facing members of Indonesia’s Tourism Ministry running up to the unveiling last week of the country’s new official tourism slogan for 2011, “Wonderful Indonesia.” Reaction to the new slogan has been mixed, with some expressing remorse that the older, more direct slogan, “Visit Indonesia,” had been dropped.

Like it or hate it, most travelers and tourism industry insiders agree that, along with the new, flashy slogan, Indonesia needs a new and better approach to managing a national tourism industry that continues to struggle despite being blessed with almost limitless potential.

According to the official Web site of the Association of Southeast Asia Nations, Indonesia ranks No. 4 in tourist arrivals on a list of all Southeast Asian countries. Malaysia, at No. 1, hosted more than 23 millions international tourists in 2009, followed by Thailand and Singapore, respectively.

Despite what on paper appears to be a chronic underperformance, there is reason to believe that Indonesian tourism is on the brink of a new golden era — if it can capitalize on some recent trends.

The Tourism Ministry has released new data for 2010 showing that it was a record year for international arrivals, with seven million foreign tourists visiting Indonesia. The ministry said that these tourists pumped around $7.6 billion into the economy. In addition, the ministry also reported that Indonesians themselves are getting out to explore the wonders of their own country in greater numbers than ever before.

Last year some 234 million Indonesians fanned out to beaches, hiking trails and resorts all across the archipelago in search of fun and adventure, adding Rp 138 trillion ($15.5 billion) to the economy in the process — a 3.05 percent increase from the 229 million local travelers reported in 2009.

The ministry has set a goal for 7.7 million international tourist arrivals in 2011, a 10 percent increase from 2010. It is in support of this target that the Tourism Ministry has introduced its new slogan. The new slogan is accompanied by a logo depicting the country’s national Garuda symbol drawn in five different colors.

“The aura around 2011 is very positive,” Culture and Tourism Minister Jero Wacik wrote recently on the ministry’s Web site. Despite Jero’s enthusiasm, most industry insiders think that it will take more than a positive aura to meet the new goal.

Dewi Wilaisono, a housewife, avid traveler, photographer and scuba diver, said she supported the slogan change. “There’s no other word that can represent Indonesia besides ‘wonderful,’?” said Dewi, who has traveled to almost every province in Indonesia.

Tara Seprita, a strategic planner at the Grey Jakarta advertising agency, however, believes that there is room for improvement. “Wonderful Indonesia” is not very focused, she said, adding that there are too many messages that the ministry is trying to get across in one line. She thinks that the previous slogan, “Visit Indonesia,” was more to the point. It’s not easy to determine which one is better, she said.

“In the end, a slogan doesn’t really matter that much — the most important thing is how well the overall strategy is implemented.”

Celebrated traveler Trinity, known to her readers as The Naked Traveler, agrees. She said that a catchy new slogan is useless unless it is part of an larger integrated campaign. Trinity, whose two books, “The Naked Traveler” and “The Naked Traveler 2,” have become national best sellers, complained that finding information about Indonesian tourism was still difficult.

“Try to search ‘Indonesia’ and ‘tourism’ on Google, the chances are you’ll have a hard time finding Indonesia’s official tourism Web site,” she said. Trinity pointed out that finding reliable, up-to-date travel information on the Internet remained one of the most problematic issues for foreign tourists. And until this problem is fixed, all the new slogans in the world won’t help to increase Indonesia’s tourism, she added.

She blamed the Tourism Ministry for not appealing to the public to get more involved in support of the tourism industry. She pointed out how other countries like Malaysia, with its “Truly Asia” campaign, had managed to communicate their strategies not only to the world, but to their own residents as well.

But despite the problems, Indonesia still has the major advantage of being, well, Indonesia. There’s nowhere else like it on earth. For this reason, people like Trinity are certain of Indonesia’s potential. “I don’t know one foreign traveler who doesn’t like Indonesia,” she said.

“The challenge is how to start getting people to come here first.”
News Source:goodnewsfromindonesia.org

Thursday 6 January 2011

Ini Dia Tokoh Islam yang Berperan Besar dalam Matematika


Rekayasa mekanika melambungkan nama Banu Musa di khazanah sains Islam. Melalui kemampuannya, Banu Musa menciptakan berbagai peralatan mesin yang terbilang pada masanya. Namun, sebenarnya bukan itu saja prestasinya. Banu Musa menoreh kan prestasi gemilang di ranah matematika.

Kepakaran Banu Musa dalam matematika bahkan layak disejajarkan dengan sejumlah tokoh besar lainnya, seperti al-Khawarizmi (780-846 Masehi), al-Kindi (801-873), atau Umar Khayam (1048-1131). Matematika dijadikan pijakan bagi Banu Musa untuk menopang kemampuanya di bidang teknik.

Perlu diketahui, Banu Musa, atau keluarga Mu sa, terdiri dari tiga bersaudara: Jafar Mu hammad bin Musa bin Shakir, Ahmad bin Musa bin Shakir, dan al-Hasan bin Musa bin Shakir. Ketiganya merupakan putra dari seorang cendekiawan terkemuka abad ke-8, yakni Musa bin Shakir.

Banu Musa ikut andil dalam mendorong kemajuan ilmu pengetahuan di dunia Islam. Bahkan, Banu Musa termasuk saintis Muslim pertama yang mengembangkan bidang ilmu hitung di dunia Islam melalui transfer pengetahuan dari peradaban Yunani. Lalu, Banu Musa membangun konsep dan teori baru, khususnya pada lingkup geometri. Dari tiga saudara tadi, adalah si sulung Jafar Muhammad yang berada di baris depan dalam kajian geometri. Selanjutnya diikuti oleh al-Hasan.

Sementara itu, Ahmad bin Musa membawa konsep matematika kepada aspek mekanika. Mereka terus bekerja bersama-sama hingga mencapai hasil yang sempurna. Banu Musa sangat tertarik dengan manuskrip ilmiah dari Yunani. Salah satunya berjudul Conics. Keseluruhan karya Appollonius ini terdiri dari delapan jilid. Diungkapkan Jere L Bacharach dalam Medieval Islamic Civilization, topik utama dari naskah tersebut membahas tentang geometri.

Banu Musa meminta bantuan dua sarjana terkemuka, yaitu Hilal bin Abi Halal al-Himsi dan Thabit bin Qurra, untuk menerjemahkan karya itu ke dalam bahasa Arab. Dalam buku MacTutor History of Mathematics, sejarawan sains John O’Connor dan Edmund F Robertson menyebut Banu Musa sebagai salah satu peletak dasar bidang geometri.

Banu Musa berhasil menghubungkan konsep geometri dari matematika Yunani ke dalam khazanah keilmuan Islam sepanjang abad pertengah an. Di kemudian hari, Banu Musa menyusun risalah penting tentang geometri, yakni Kitab Marifat Masakhat al-Ashkal. Kitab tersebut sangat terkenal di Barat. Menyusul penerjemahannya ke dalam bahasa Latin pada abad ke-12 oleh Gerard of Cremona dengan judul Libertrium Fratum de Geometria.

Menurut O’Connor dan Robertson, terdapat beberapa kesamaan metodologi dan konsep geometri dari Banu Musa dengan yang diusung Apollonius. Namun, keduanya menegaskan pula bahwa banyak pula perbedaan yang muncul. Sebab, Banu Musa melakukan perbaikan dan membangun rumusrumus baru yang terbukti sangat efektif. Lebih jauh, Banu Musa menyempurnakan metode persamaan yang dirintis Eudoxus dan Archimedes.

Pakar matematika Muslim itu menambahkan rumus poligon dengan dua bidang sama luas. Sebelum diteruskan oleh Banu Musa, metode ini tidak banyak mendapat perhatian dan nyaris hilang dimakan zaman. Di sisi lain, Banu Musa membangun pola lebih maju terkait penghitung an luas serta volume yang mampu dijabarkan lewat angka-angka.

O’Connor dan Robertson mengungkapkan, penggunaan sistem angka merupakan keunggulan dari metode geo metri awal warisan peradaban Islam. Hal lain diungkapkan oleh Shirali Kadyrov melalui tulisannya Muslim Contributions to Mathematics.

Menurut dia, Banu Musa juga menje laskan mengenai angka konstan phi. Ini adalah besaran dari hasil pembagian diameter lingkaran. Banu Musa mengatakan, konsep ini pernah dipakai Archimedes. Namun, pada saat itu pemikiran Archimedes dinilai masih kurang sempurna. Sezgin, seorang ahli matematika Barat, menganggap bukti temuan Banu Musa merupakan fondasi kajian geometri pada masa berikutnya.

Hal serupa disampaikan Roshidi Rashed dalam History of a Great Number. Di samping itu, mereka menciptakan pemecahan geometri dasar untuk menghitung luas volume. Laman isesco.org menyatakan, sumbangan Banu Musa yang lain yakni ketika menemukan metode dan praktik geometri yang ringkas serta mudah diaplikasikan.

Dalam membentuk lingkaran, misalnya, bisa dikerjakan dengan memakai besi siku atau jangka. Masing-masing ujung besi siku itu diletakkan di titik berbeda. Kemudian diambil sudut tertentu. Ambil salah satu ujung sebagai tumpuan dan ujung lainnya diputar melingkar. Maka dihasilkan sebuah lingkaran sempurna.

Berdasarkan pengamatan Victor J Katz dan Annete Imhausen pada The Mathematics of Egypt, Mesopotamia, China, India and Islam, kajian geometri mencapai tahap tertinggi melalui pemikiran dan karya Banu Musa. Inti gagasan mencakup sejumlah operasi penghitungan kubus, lingkaran, volume, kerucut, dan sudut.

Selain Kitab Marifat, Muhammad bin Musa menulis beberapa karya geometri yang penting. Salah satunya menguraikan tentang ukuran ruang, pembagian sudut, serta perhitungan proporsional. Hal ini terutama digunakan untuk menghitung pembagian tunggal antara dua nilai tertentu. Sedangkan, al-Hasan mengerjakan penelitian untuk menjabarkan sifat-sifat geometris dari elips.
sumber:republika.co.id

Belajar Melawan Korupsi dari Khalifah Harun Ar Rasyid


Dalam menjalankan roda pemerintahan, Khalifah Harus Ar Rasyid tak mengenal kompromi dengan korupsi yang merugikan rakyat. Sekalipun yang berlaku korup itu adalah orang yang dekat dan banyak berpengaruh dalam hidupnya. Tanpa ragu-ragu, ia memecat dan memenjarakan Yahya bin Khalid yang diangkatnya sebagai perdana menteri (wazir).

Harun pun menyita dan mengembalikan harta Yahya senilai 30,676 juta dinar hasil korupsi ke kas negara. Dengan begitu, pemerintahan yang dipimpinnya bisa terbebas dari korupsi yang bisa menyengsarakan rakyatnya. Pemerintahan yang bersih dari korupsi menjadi komitmennya.

Sang khalifah benar-benar memperhatikan dan mengutamakan kesejahteraan rakyatnya. Guna meningkatkan kesejahteraan negara dan rakyat, Harun ArRasyid memajukan ekonomi, perdagangan, dan pertanian dengan sistem irigasi. Kemajuan dalam sektor-sektor ini menjadikan Baghdad, ibu kota pemerintahan Bani Abbas, sebagai pusat perdagangan terbesar dan teramai di dunia saat itu. Karenanya, negara memperoleh pemasukan yang besar dari kegiatan dagang tersebut, disamping perolehan dari pajak perdagangan dan pajak penghasilan bumi.

Pemasukan kas negara yang begitu besar itu tak dikorup sang khalifah. Harun Ar-Rasyid menggunakan dana itu untuk membiayai pembangunan sektor-sektor lain, seperti pembangunan Kota Baghdad dengan gedung-gedungnya yang megah, pembangunan sarana-sarana peribadatan, pendidikan, kesehatan, perdagangan, serta membiayai pengembangan ilmu pengetahuan di bidang penerjemahan dan penelitian.

Dari uang kas tersebut, negara juga mampu memberi gaji yang tinggi kepada para ulama dan ilmuwan. Mereka ditempatkan pada kedudukan status sosial yang tinggi. Setiap tulisan dan penemuan yang dihasilkan ulama dan ilmuwan dibayar mahal oleh negara. Dengan pendapatan negara yang melimpah ini, Khalifah Harun Ar-Rasyid dan para pejabat negara juga dapat memperoleh dan menikmati segala kemewahan menurut ukuran zaman itu. Sebab, kehidupan rakyatnya juga berada dalam kemakmuran dan kesejahteraan.

Kemakmuran dan kesejahteraan yang dicapai pada masa Khalifah Harun Ar-Rasyid tidak terlepas dari kemampuannya dalam menjaga keutuhan wilayah yang dikuasainya. Di masa kepemimpinannya, Abbasiyah menguasai wilayah kekuasaan yang terbentang luas dari daerah-daerah di Laut Tengah di sebelah Barat hingga ke India di sebelah Timur.

Berbagai pemberontakan pun tercatat sempat terjadi di era kepemimpinannya. Pemberontakan yang sempat terjadi pada masa kekuasaannya, antara lain, pemberontakan Khawarij yang dipimpin Walid bin Tahrif (794 M), pemberontakan Musa Al-Kazim (799 M), serta pemberontakan Yahya bin Abdullah bin Abi Taglib (792 M).

Salah satu puncak pencapaian yang membuat namanya melegenda adalah perhatiannya dalam bidang ilmu pengetahuan dan peradaban. Pada masa kepemimpinannya, terjadi penerjemahan karya-karya dari berbagai bahasa. Inilah yang menjadi awal kemajuan yang dicapai Islam. Menggenggam dunia dengan ilmu pengetahuan dan peradaban.

Pada era itu pula berkembang beragam disiplin ilmu pengetahuan dan peradaban yang ditandai dengan berdirinya Baitul Hikmah--perpustakaan raksasa sekaligus pusat kajian ilmu pengetahuan dan peradaban terbesar pada masanya. Harun pun menaruh perhatian yang besar terhadap pengembangan ilmu keagamaan.
sumber:republika.co.id

Haram, Menimbun Barang Dagangan


Harga kebutuhan pokok mengalami kenaikan menjelang akhir tahun. Lonjakan harga itu juga termasuk pada beras.

Masyarakat mengeluhkan melambungnya harga itu. Pengamat bahkan menduga terjadi penimbunan oleh pedagang. Tujuannya tentu untuk mengeruk keuntungan berlimpah. Bagaimana Islam merespons penimbunan barang dagangan?

Yusuf Al-Qaradhawi dalam Fatwa Fatwa Kontemporer, menegaskan, jangan menimbun barang dagangan ketika masyarakat sangat membutuhkannya, dengan tujuan memperoleh laba berlimpah. Sebab, itu merupakan perbuatan yang haram. Larangan ini mencakup semua barang dagangan. Tak hanya bahan-bahan pokok.

Ia mengutip hadis Rasulullah men dukung argumennya. "Tidak akan menimbun kecuali orang yang berbuat dosa," demikian hadis yang diriwayatkan Muslim dan Abu Daud. Predikat khathi'un atau orang yang berbuat dosa, jangan dianggap perkara sepele. Allah SWT menyebut Fir'aun dan Hamman serta tentaranya dengan sebutan yang sama.

Dalam Al-Qashash ayat 8, Allah mengatakan bahwa sesungguhnya Fir'aun dan Hamman beserta tentaranya adalah orang-orang yang bersalah. Pandangan yang sama juga disampaikan Sayyid Sabiq yang tertuang dalam bukunya Fiqih Sunnah. Ia beralasan, menimbun dilandasi sifat tamak dan akhlak rendah serta merugikan kepentingan publik.

Rasulullah melalui hadis yang diriwayatkan Ahmad Hakim, Ibnu Abi Syaibah, dan Al-Bazzaz, mengungkapkan, orang yang menimbun barang pangan selama 40 hari maka telah lepas dari Allah dan Allah telah berlepas dari orang tersebut.
Julukan bagi penimbun selain orang berdosa adalah sejelek-jeleknya orang.

Melalui kitabnya, Jami, Razin menggambarkan perkataan Rasulullah mengenai para penimbun barang. Sejelek-jelek hamba adalah penimbun barang. Jika mereka mendengar barang maka tak akan senang. Sebaliknya, saat harga barang menjadi mahal maka kegembiraan menyelimuti mereka.

Menurut Sayyid Sabiq, sejumlah ahli fikih menetapkan batasan kapan penimbunan barang dinyatakan haram. Ada sejumlah kategori, yaitu pertama, barang yang ditimbun lebih dari yang dibutuhkan untuk kebutuhan setahun penuh.
Seseorang diizinkan menimbun nafkah pangan bagi diri dan keluarganya selama satu tahun.

Kedua, pemilik barang yang ditimbun menunggu terjadinya kenaikan harga barang. Maka itu, ia menjual barang tersebut dengan harga lebih tinggi. Ia mendapatkan keuntungan sangat tinggi.
Dan ketiga, penimbunan dilakukan pada saat masyarakat sangat membutuhkan barang itu.

Misalnya, makanan, pakaian, dan barang lain yang sangat dibutuhkan. Menurut Sayyid Sabiq, jika barang-barang yang ada pada para pedagang itu tak dibutuhkan masyarakat maka bukan dianggap sebagai penimbunan. Dengan alasan, tak membuat kesulitan bagi publik.

Para pedagang juga diingatkan untuk menyempurnakan takaran barang yang dijualnya. "Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil." Demikian Allah SWT menyatakan dalam Al-An'am ayat 152. Di surah lainnya, yaitu Al-Israa ayat 35, dan surah Al-Muthaffifin [83] ayat 1-3, juga menegaskan hal yang sama.

Dalam surat tersebut, para pedagang dituntut untuk menyempurnakan takaran dan menimbang dengan neraca yang benar. Hal itulah yang lebih utama dan lebih baik akibatnya. Allah pun melarang para pedagang mempermainkan dan berbuat curang ketika menakar dan menimbang.

Rasulullah menganjurkan pedagang melebihkan jumlah timbangan. Suwaid bin Qais, dalam riwayatnya mengatakan, ia dan Makhrafah Al-Abadi pernah mendatangkan beberapa pakaian dari tanah Hajar ke Makkah. Rasulullah melintas dan keduanya menawarkan sebuah celana. Rasulullah pun membelinya.

Kala itu, ada seseorang yang sedang menimbang barang, kemudian Muhammad SAW mengatakan, "Timbanglah dan lebihkan." Hadis ini diriwayatkan oleh Turmuzi, An Nasai, dan Ibnu Majah.
sumber:republika.co.id

Pemimpin yang Sadar Diri


Ketika dibaiat menjadi khalifah, Umar bin Abdul Aziz menangis tersedu-sedu.
Beberapa penyair mendatanginya dengan maksud menghiburnya, tapi ia menolak. Melihat ayahnya menangis hampir seharian, anaknya juga berusaha mencari tahu penyebabnya, tapi tidak berhasil. Istrinya, Fatimah, lantas menemuinya dan bertanya, "Wahai suamiku, mengapa engkau menangis seperti ini?" Umar pun menjawab, "Sungguh aku telah diangkat untuk memimpin urusan umat Muhammad SAW.
Aku lalu termenung memikirkan nasib para fakir miskin yang sedang kelaparan, orang-orang sakit yang tidak bisa berobat, orangorang yang tidak bisa membeli pakaian, orang-orang yang selama ini dizalimi dan tidak ada yang membela, orang-orang yang memiliki keluarga besar tapi hanya mempunyai sedikit harta, orangorang tua yang tidak berdaya, orang-orang yang ditawan atau dipenjara, serta orang-orang yang bernasib menderita di pelosok negeri ini. Aku sadar dan tahu bahwa Allah pasti akan meminta pertanggungjawabanku amanah ini. Namun, aku khawatir tidak sanggup memberikan bukti bahwa aku telah melaksanakan amanah ini dengan baik sehingga aku menangis."

Seraya menyeka air matanya, ia mengutip ayat, "Sesungguhnya aku takut kepada siksa hari yang besar (kiamat) jika mendurhakai Tuhanku."(QS Yunus [10]: 15).

Adakah pemimpin saat ini yang memiliki kesadaran eskatologis (pertanggungjawaban di hari akhir) seperti Umar? Faktanya, para pemimpin cenderung berpesta pora ketika memperoleh kemenangan dalam pemilu (pilpres dan pilkada), padahal amanah yang diberikan kepadanya itu sungguh berat dan harus dipertanggungjawabkan kepada publik dan di hadapan pengadilan Allah SWT kelak.

Menyadari betapa rakyatnya masih banyak yang miskin, menderita, dan sengsara, Umar memutuskan tidak tinggal di istana, tapi hanya menempati rumah sederhana tanpa pengawal pribadi dan satpam.

Beliau juga menolak menggunakan fasilitas negara, termasuk berbagai perhiasan yang diwariskan Khalifah Malik bin Marwan untuk istrinya.

Ketika syahwat politik untuk berkuasa membara, seseorang biasanya menjual diri dengan janjijanji politik yang muluk-muluk. Tapi ketika berkuasa, ia cenderung lupa dan tidak sadar diri. Janji tinggal janji. Keadilan tidak ditegakkan. Kekuasaan dijalankan menurut hawa nafsunya. Rakyat dilupakan, bahkan disengsarakan.

Begitulah potret penguasa yang lupa diri sekaligus lupa Allah SWT. "Janganlah kamu seperti orang orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik." (QS al-Hasyr [59]: 19).

Karena itu, penguasa harus sadar diri bahwa kekuasaan itu bukan kesempatan untuk meraih kenikmatan, tapi kesempatan untuk mengemban amanah yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan publik dan Allah SWT.

Figur seperti Umar bin Abdul Aziz itulah pemimpin teladan yang sadar diri, tidak lupa rakyat, sekaligus tidak lupa kepada Allah SWT. Sungguh karakter pemimpin seperti itu di negeri ini masih sangat langka, meski kita sudah lama mendambakannya.
republika.co.id

Wednesday 5 January 2011

Osama: RI Negara Pertama Bantu Gaza 2011


Indonesia tercatat sebagai negara pertama yang memberikan bantuan kemanusiaan kepada rakyat Palestina pada 2011.
“Kami menyambut baik bantuan kemanusiaan dari rakyat Indonesia kepada rakyat Palestina dan ini merupakan bantuan pertama dari luar negeri untuk Tahun Baru 2011,” kata Ketua Bulan Sabit Merah Sinai Utara, Mesir, Jenderal (Purn) Osama Serghani di Rafah, pintu perbatasan Mesir-Gaza, Minggu (2/1/2011).
Osama Serghani mengungkapkan, bantuan kemanusiaan kepada Palestina dari luar negeri kedua setelah Indonesia adalah kapal Asia Caravan-1. Kapal itu merapat di Pelabuhan Rafah, Minggu petang, beberapa jam setelah penyerahan bantuan dari Indonesia.
Kapal Asia Caravan-1 itu mengangkut 170 ton bantuan kemanusiaan ke Gaza. Kapal solidaritas untuk rakyat Palestina itu diikuti para anggota LSM dari berbagai negara Asia, termasuk 12 orang dari Indonesia.
Bantuan kemanusiaan berupa beragam peralatan medis seberat lebih dari 1 ton tersebut diserahkan oleh Duta Besar RI AM Fachir, didampingi Kepala Fungsi Politik KBRI Kairo Burhanuddin Badruzzaman, di Rafah.
Peralatan medis bantuan dari Indonesia tersebut diterima Direktur Bulan Sabit Merah Palestina Wilayah Jalur Gaza Dr Khalil Al-Foul, yang difasilitasi Kepala Bulan Sabit Merah Wilayah Sinai Utara Jenderal (Purn) Osama Serghani.
Fachir, yang fasih berbahasa Arab, dalam sambutannya menjelaskan, KBRI Kairo menghimpun bantuan dari berbagai kalangan, baik organisasi maupun individu yang bersimpati atas penderitaan rakyat Palestina akibat kekejaman Israel.
“Nilai bantuannya tidak seberapa, tapi ini merupakan solidaritas dari masyarakat Indonesia untuk saudara-saudara mereka di Palestina, terutama Gaza,” katanya.
Bantuan yang diserahkan Fachir di perbatasan Rafah ini adalah yang kedua kalinya, menyusul bantuan pertama pada Januari 2009, tak lama setelah agresi militer Israel di Gaza. Bantuan pertama itu termasuk sebuah ambulans yang diberikan oleh Kementerian Kesehatan RI.
Kepala Fungsi Politik KBRI Kairo Burhanuddian Badruzzaman menjelaskan bahwa bantuan kali ini seniali 88.000 dollar AS (sekitar Rp 790 juta).
“Bantuan itu 50.000 dollar AS dari Kispa (Komite Indonesia untuk Solidaritas Palestina), 26.000 dollar AS sisa bantuan Kemkes RI untuk Palestina pada 2009, 10.000 dollar AS dari rakyat Amuntai (Kalimantan Selatan), dan 2.000 dollar AS dari masyarakat Indonesia di Mesir,” kata Burhanuddin.
Sumber: KOMPAS

Saturday 1 January 2011

Komikoo.com, Baca Komik Dapat Duit


Banyak penggemar komik yang rela merogoh kocek untuk menyewa dari rental komik atau membeli dari toko buku. Tapi di Komikoo.com, membaca komik tak perlu bayar alias gratis, malah berkesempatan dapat duit.

Situs yang menyediakan komik buatan para komikus lokal ini memang menerapkan sistem keanggotaan yang unik. Setiap anggota (member) akan mendapatkan reward berupa point yang disebut Komipoint jika memberikan komentar atau rating kepada komik-komik yang ditampilkan. Saat ini, siapa yang mengumpulkan Komipoint tertinggi berhak mendapatkan hadiah sejumlah uang setiap bulannya.

Komikoo.com adalah sebuah situs komik dengan konten swadaya (user generated content). Situs ini lahir dari pengamatan bahwa banyak orang Indonesia yang memiliki bakat menggambar/membuat ilustrasi komik dan banyak pula orang Indonesia yang gemar membaca komik.

Kemampuan membuat ilustrasi dan kegemaran membaca komik ini sayangnya belum dibarengi oleh antusiasme para penerbit untuk menerbitkan komik-komik lokal. Komikoo.com hadir untuk memberikan outlet kepada para komikus tersebut untuk menampilkan karya-karya mereka dalam bentuk yang mereka inginkan, yaitu komik.

"Cita-cita komikoo.com adalah memberikan sarana bagi para komikus untuk menunjukkan karyanya dengan mudah, dan menjadi wadah di mana para komikus dapat berkumpul dan berdiskusi," tulis Iqbal Aribaskara, pendiri Komikoo.com dalam siaran persnya. Oleh karena itu komikoo.com dilengkapi fitur-fitur yang mendukung komunikasi antar komikus, yaitu: fitur real-time chat, fitur shoutbox, fitur forum.

Pertama di Indonesia

Komikoo.com mengklaim sebagai pelopor situs komik online dengan konten swadaya dari para anggotanya. Iqbal menyatakan, ide mendirikan Komikoo mulai terpikir pada tahun 2007. Baru pada tahun kuartal kedua 2008, Komikoo.com versi pertama mulai dikembangkan. Versi pertama diluncurkan pada Agustus 2009 kemudian diperbarui dengan versi kedua yang online sekarang sejak November 2009.

Sebuah komik di komikoo.com memiliki elemen-elemen Judul, Sinopsis, Sampul, dan Halaman yang tersusun secara berurutan/sekuensial, sebagaimana sebuah komik seharusnya. Komikoo.com adalah situs pertama yang mengemas data komik seperti ini.

Untuk mempromosikan komik yang masuk, setiap komik yang diunggah ke Komikoo.com secara otomatis akan disiarkan via akun Twitter dan fanpage Komikoo di Facebook sehingga dapat tersiar lebih luas. Saat ini sudah ada 700 fans di Facebook dan lebih dari 100 follower di Twitter. Sejauh ini, Komikoo memang belum menawarkan benefit langsung kepada komikus yang bergabung, namun sedang disiapkan ke depan.
http://tekno.kompas.com

Kenapa Tidak Boleh Minum Obat dengan Susu?


Jangan minum obat dengan susu kata-kata itu seringkali didengar atau diucapkan oleh masyarakat ketika ingin mengonsumsi obat oral. Kenapa susu tidak boleh dicampur dengan obat?

Obat atau antibiotik yang dikonsumsi secara oral bisa menjadi efektif bagi seseorang jika dikonsumsi dan diserap dengan baik oleh tubuh. Obat oral harus diserap dari saluran pencernaan hingga bisa masuk ke dalam aliran darah lalu dikirim ke daerah yang sakit atau mengalami infeksi untuk pengobatan.

Terdapat berbagai faktor yang mempengaruhi kemampuan tubuh untuk menyerap obat dengan baik, termasuk keasaman relatif di perut, ada atau tidaknya nutrisi lemak atau nutrisi lainnya, serta apakah ada unsur-unsur tertentu di dalam tubuh seperti kalsium.

Seperti dikutip dari Everydayhealth.com, Sabtu (1/1/2011) beberapa obat seperti keluarga antibiotik yang mengandung tetrasiklik akan bereaksi dengan susu. Kalsium yang terdapat dalam susu akan mengikat obat atau antibiotik sehingga mencegah penyerapan obat tersebut di dalam tubuh.

Selain itu ada obat yang baik dikonsumsi setelah makan ataupun sesudah makan, hal ini disebabkan makanan yang dikonsumsi tersebut bisa mempengaruhi penyerapan obat. Karenanya menjadi hal yang sangat penting untuk mengikuti petunjuk penggunaan yang tertera pada botol atau bungkus obat, serta masyarakat sebaiknya selalu menanyakan kriteria obat yang dikonsumsinya pada apoteker.

Lalu bagaimana dengan minuman lainnya seperti kopi, teh atau jus?

Minuman lainnya seperti kopi, teh atau jus umumnya mengandung berbagai senyawa seperti kafein yang kemungkinan bisa bereaksi dengan obat yang dikonsumsi sehingga mempengaruhi penyerapannya.

Untuk itu masyarakat selalu disarankan mengonsumsi obat dengan menggunakan air putih yang diketahui tidak memiliki kandungan apapun, sehingga tidak mempengaruhi penyerapan obat. Selain itu air putih bisa membantu melarutkan obat yang dikonsumsi di dalam lambung sehingga proses penyerapannya menjadi lebih baik dan lebih mudah.