Dalam bukunya
‘The Outliers’ Malcolm Gladwell membeberkan kisah orang-orang sukses dan gagal.
Beberapa di antaranya Bill Gates, Bill Joy (Sun Microsystem), dan Steve Jobs
(Apple Computer).
Salah satu
factor keberhasilan seseorang adalah kesempatan. Banyak dari orang sukses
(misalnya Bill Gates, Bill Joy dan Paul Allen) dalam The Outliers berasal dari
kelas sosioekonomi menengah dan atas sehingga bisa mengakses pendidikan
bermutu.
Sebaliknya, saat
kesempatan itu ditiadakan, seseorang dengan IQ 195, Chris Langan (bandingkan:
IQ Albert Einstein 150) harus putus kuliah karena ketiadaan biaya dan berakhir
sebagai buruh tani dengan berbagai kepahitan. Diantara kedua titik ini, ada
kisah Steve Jobs dari keluarga sederhana yang berhasil mengubah hdupnya dan
dunia melalui perusahaan Apple Computer. Meski tidak berasal dari keluarga
kaya, Steve Jobs hidup di Silicon Valley dan bergaul dengan para insinyur
Hewlett Packard. Pesan dari kisah-kisah ini, kesempatan merupakan pintu awal
menuju keberhasilan.
Salah satu
fungsi pendidikan adalah memberi kesempatan itu untuk mengurangi jumlah orang
yang berakhir seperti Chris Langan dan Steve Jobs. Jika The Outliers ditulis
dalam versi Indonesia, pasti ada banyak kisah Chris Langan dan Steve Jobs ala
Indonesia yang bisa menjadi latar belakang pembuatan kebijakan pendidikan atau
keputusan Negara maupun Institusi. Kebjakan yang masih menuai kontroversi adalah UU no 9 Tahun 2009
tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP). Ketika sektor-sektor yang memenuhi
kepentingan publik dan tidak diharapkan memberi keuntungan material, pendidikan
menjadi tanggung jawab negara. Pada era ini, ada pergeseran cara pandang dan
raktik terhadap sektor-sektor itu.
Liberalisasi Pendidikan
Pasar sebagai salah satu pranata civil society
dikendalikan pelaku bisnis menjelajahi dan menguasai sumber-sumber daya dalam
pasar, lahan-lahan yang secara historis merupakan usaha untuk kemaslahatan
orang banyak sehingga diselenggarakan oleh negara, seperti pendidikan dan
kesehatan, kini menjadi garapan pelaku bisnis.
Salah satu dampak positif UU BHP adalah
tansformasi di PTN. Jerat birokrasi yang berwujud kurang efisien mulai bisa
diperbaiki. Sedangkan kalangan yang masih mempercayai nilai-nilai sosial
demokrasi mengkhawatirkan terjadinya liberalisasi pendidikan. Meski Pasal 4 UU
BHP sudah mengatur bahwa badan hukum pendidikan bersifat nirlaba, fenomena
liberalisasi pendidikan tinggi sudah amat terasa. Berbagai jalur yang
disediakan PTN mulai dari jalur Seleksi Nasional Mahasiswa Perguruan Tinggi
Negeri (SNM-PTN) hinga jalur khusus dan mandiri memberi beberapa paket dengan
persentase masing-masing.
Yang dikeluhkan adalah alokasi penerimaan
dengan biaya minimal makin dikurangi persentasenya. Sedangkan alokasi
penerimaan melalui jalur khusus atau mandiri bertambah. Praktek ini dilakukan
PTN guna menembah jumlah pendapatan sehingga bisa memperbaiki mutu. Formula
alokasi disusun tiap PTN, dengan melihat kepentingan institusional PTN itu,
dengan standar mutu yang ingin dicapai dan biaya yang harus ditanggung.
Padahal, alokasi jalur subsidi dan jalur khusus ini tidak sesuai dengan
persentase penduduk miskin di Indonesia. Akibatnya, kesempatan bagi anak-anak
keluarga miskin untuk meniti jalur keberhasilan seperti Steve Jobs makin
tertutup.
Para penganut nilai-nilai sosial demokratis
berpendapat UU BHP tidak berpihak kepada rakyat, bahkan cenderung melindungi
yang kuat. Dikhawatirkan bertambahnya jumlah orang macam Chris Langan dan
Lintang (dalam Laskar Pelangi) yang berpotensi tinggi tetapi tidak mendapat
kesempatan pendidikan akan menjadi energi negatif di masayarakat.
Alternatif Solusi
Sementara perdebatan tentang subsidi negara
untuk PTN atau PTS masih berlangsung dan mungkin tidak akan pernah reda,
kisah-kisah Chris Langan dan Lintang akan terus terjadi di seluruh Nusantara.
Dana subsidi pemerintah memang sudah dikucurkan ke berbagai PTN dan PTS, di
antaranya melelui program hibah dan kompetensi. Dua alternatif solusi perlu
dipertimbangkan guna meningkatkan akses terhadap pendidikan tinggi sambil tetap
berjuang mencapai target mutu dan menjaga ekuilibrium antara layanan pendidikan
tinggi sebagai entitas yang nirlaba dan eksploitas elaku bisnis dan sektor
pendidikan.
Alternatif pertama adalah memberi dan
meningkatkan jumlah beasiswa pemerintah melalui lembaga mandiri. Lembaga
kepanjangan pemerintah ini bertugas menyeleksi kelayakan calon penerima beasiswa
secara jujur dan transparan. Alternatif kedua melibatkan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan. Selama ini
beberapa korporasi melalui lembaga filantropis (seperti Tanoto Foundation,
Djarum dan Sampoerna Foundation) sudah cukup banyak berperan dalam ikut
mencerdaskan bangsa dengan memberikan beasiswa di perguruan tinggi.
Anita Lie, Opini Kompas 2 maret 2009
No comments:
Post a Comment