Monday, 3 October 2011

LIBERALISASI PENDIDIKAN TINGGI


Dalam bukunya ‘The Outliers’ Malcolm Gladwell membeberkan kisah orang-orang sukses dan gagal. Beberapa di antaranya Bill Gates, Bill Joy (Sun Microsystem), dan Steve Jobs (Apple Computer).

Salah satu factor keberhasilan seseorang adalah kesempatan. Banyak dari orang sukses (misalnya Bill Gates, Bill Joy dan Paul Allen) dalam The Outliers berasal dari kelas sosioekonomi menengah dan atas sehingga bisa mengakses pendidikan bermutu.

Sebaliknya, saat kesempatan itu ditiadakan, seseorang dengan IQ 195, Chris Langan (bandingkan: IQ Albert Einstein 150) harus putus kuliah karena ketiadaan biaya dan berakhir sebagai buruh tani dengan berbagai kepahitan. Diantara kedua titik ini, ada kisah Steve Jobs dari keluarga sederhana yang berhasil mengubah hdupnya dan dunia melalui perusahaan Apple Computer. Meski tidak berasal dari keluarga kaya, Steve Jobs hidup di Silicon Valley dan bergaul dengan para insinyur Hewlett Packard. Pesan dari kisah-kisah ini, kesempatan merupakan pintu awal menuju keberhasilan.

Salah satu fungsi pendidikan adalah memberi kesempatan itu untuk mengurangi jumlah orang yang berakhir seperti Chris Langan dan Steve Jobs. Jika The Outliers ditulis dalam versi Indonesia, pasti ada banyak kisah Chris Langan dan Steve Jobs ala Indonesia yang bisa menjadi latar belakang pembuatan kebijakan pendidikan atau keputusan Negara maupun Institusi. Kebjakan yang masih menuai kontroversi adalah UU no 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP). Ketika sektor-sektor yang memenuhi kepentingan publik dan tidak diharapkan memberi keuntungan material, pendidikan menjadi tanggung jawab negara. Pada era ini, ada pergeseran cara pandang dan raktik terhadap sektor-sektor itu.

Liberalisasi Pendidikan

Pasar sebagai salah satu pranata civil society dikendalikan pelaku bisnis menjelajahi dan menguasai sumber-sumber daya dalam pasar, lahan-lahan yang secara historis merupakan usaha untuk kemaslahatan orang banyak sehingga diselenggarakan oleh negara, seperti pendidikan dan kesehatan, kini menjadi garapan pelaku bisnis.

Salah satu dampak positif UU BHP adalah tansformasi di PTN. Jerat birokrasi yang berwujud kurang efisien mulai bisa diperbaiki. Sedangkan kalangan yang masih mempercayai nilai-nilai sosial demokrasi mengkhawatirkan terjadinya liberalisasi pendidikan. Meski Pasal 4 UU BHP sudah mengatur bahwa badan hukum pendidikan bersifat nirlaba, fenomena liberalisasi pendidikan tinggi sudah amat terasa. Berbagai jalur yang disediakan PTN mulai dari jalur Seleksi Nasional Mahasiswa Perguruan Tinggi Negeri (SNM-PTN) hinga jalur khusus dan mandiri memberi beberapa paket dengan persentase masing-masing.

Yang dikeluhkan adalah alokasi penerimaan dengan biaya minimal makin dikurangi persentasenya. Sedangkan alokasi penerimaan melalui jalur khusus atau mandiri bertambah. Praktek ini dilakukan PTN guna menembah jumlah pendapatan sehingga bisa memperbaiki mutu. Formula alokasi disusun tiap PTN, dengan melihat kepentingan institusional PTN itu, dengan standar mutu yang ingin dicapai dan biaya yang harus ditanggung. Padahal, alokasi jalur subsidi dan jalur khusus ini tidak sesuai dengan persentase penduduk miskin di Indonesia. Akibatnya, kesempatan bagi anak-anak keluarga miskin untuk meniti jalur keberhasilan seperti Steve Jobs makin tertutup.

Para penganut nilai-nilai sosial demokratis berpendapat UU BHP tidak berpihak kepada rakyat, bahkan cenderung melindungi yang kuat. Dikhawatirkan bertambahnya jumlah orang macam Chris Langan dan Lintang (dalam Laskar Pelangi) yang berpotensi tinggi tetapi tidak mendapat kesempatan pendidikan akan menjadi energi negatif di masayarakat.

Alternatif Solusi

Sementara perdebatan tentang subsidi negara untuk PTN atau PTS masih berlangsung dan mungkin tidak akan pernah reda, kisah-kisah Chris Langan dan Lintang akan terus terjadi di seluruh Nusantara. Dana subsidi pemerintah memang sudah dikucurkan ke berbagai PTN dan PTS, di antaranya melelui program hibah dan kompetensi. Dua alternatif solusi perlu dipertimbangkan guna meningkatkan akses terhadap pendidikan tinggi sambil tetap berjuang mencapai target mutu dan menjaga ekuilibrium antara layanan pendidikan tinggi sebagai entitas yang nirlaba dan eksploitas elaku bisnis dan sektor pendidikan.

Alternatif pertama adalah memberi dan meningkatkan jumlah beasiswa pemerintah melalui lembaga mandiri. Lembaga kepanjangan pemerintah ini bertugas menyeleksi kelayakan calon penerima beasiswa secara jujur dan transparan. Alternatif kedua melibatkan masyarakat  dalam penyelenggaraan pendidikan. Selama ini beberapa korporasi melalui lembaga filantropis (seperti Tanoto Foundation, Djarum dan Sampoerna Foundation) sudah cukup banyak berperan dalam ikut mencerdaskan bangsa dengan memberikan beasiswa di perguruan tinggi.

Anita Lie, Opini Kompas 2 maret 2009

No comments:

Post a Comment