Monday 23 March 2009

Sepuluh Kaidah Untuk Meningkatkan Citra Matematika Sebagai Mata Pelajaran yang Menyenangkan

(Feb 27 2004 at 7:12 PM Artikel >> Oleh : Suparlan)

Berbagai upaya untuk meningkatkan hasil belajar matematika bukanlah barang baru. Salah satu di antaranya adalah dijelaskan dalam buku Seri Praktik Pendidikan, Untuk Guru, Pendidik, dan Orangtua Dalam Rangka Meningkatkan Kualitas Sumberdaya Manusia, yang diterbitkan oleh Akademi Pendidikan Internasional, Biro Pendidikan Internasional UNESCO, yang dialihbahasakan ke dalam Bahasa Indonesia atas kerjasama Komite Nasional Indonesia untuk UNESCO dengan Ditjen Dikdasmen. Dalam buku tersebut terdapat satu topik bertajuk 'Perbaikan Prestasi Siswa Dalam Matematika', yang dikarang oleh Douglas A. Grows dan Kristin J. Cebulla. Penulis menjelaskan sepuluh kaidah yang harus diperhatikan oleh para guru untuk meningkatkan prestasi siswa dalam matematika. Sepuluh kaidah tersebut dijelaskan dalam tulisan singkat ini dengan beberapa modivikasi dan tambahan penjelasan seperlunya.

Pertama, berikan kesempatan belajar kepada siswa untuk mempelajari matematika secara langsung. Untuk ini guru harus lebih banyak memberikan kesempatan kepada siswa untuk mempelajari matematika sesuai dengan tingkat kemampuannya. Awas, jangan ada niat guru memberikan tugas yang berat dengan tujuan timbul kesan bahwa matematika itu sulit. Sebaliknya berilah tugas-tugas yang diperkirakan para siswa dapat mengerjakannya. Lalu, berilah penguatan, sehingga peserta didik menjadi semakin bersemangat untuk dapat mengerjakannya. Semakin banyak kesempatan belajar yang diberikan kepada siswa, semakin tinggi prestasi belajar siswa.
Para guru hendaklah memberikan kesempatan belajar kepada siswa bukan hanya sampai kepada pemahaman konsep matematika, tetapi juga sampai dengan penerapan konsep dalam kehidupan sehari-hari, serta sampai dengan nilai-nilai yang dapat diambil dari mata pelajaran matematika, misalnya nilai kejujuran, ketelitian, percaya diri, dan kerjasama antara teman. Sekali lagi, pemberian kesempatan kepada semua siswa ini sudah barang tentu harus disesuaikan tingkat kemampuan anak. Anak-anak yang lambar belajar sudah barang tentu jangan diberikan soal yang sepadan dengan kemampuannya, sehingga mereka merasa mampu mengerjakannya, dan akhirnya menjadi senang kepada mata pelajaran matematika. Sebaliknya anak yang 'gifted' perlu diberikan soal yang menantang.

Kedua, fokuskan kepada pelajaran matematika yang bermakna dalam kehidupan. Kaidah ini kini menjadi terkenal dengan konsep 'matematika realistik' atau yang dikenal dengan CTL (contextual teaching and learning). Untuk apa mereka diajarkan tentang menjumlah, mengalikan, membagi, dan sebagainya? Materi pelajaran itu pada hakikatnya memiliki makna yang penting dalam kehidupan. Siswa harus memahami tentang betapa pentingnya operasi hitung dasar itu dalam bidang ekonomi, perdagangan, belanja di pasar, dan bahkan dalam kaitannya dengan keterampilan pengumpulan data dalam sensus penduduk, sebagai misal. Untuk itu, mengajarkan matematika tidaklah hanya mengajarkan konsep-konsep dalam matematika, tetapi lagi-lagi harus memberikannya secara bermakna bagi siswa. Jika para siswa sudah memahami bahwa matematika memang penting dalam kehidupannya, maka siswa akan merasa perlu belajar matematika, dan selanjutnya mereka senang dalam belajar, dan pada akhirnya prestasi belajarnya pun meningkat pula.

Ketiga, perbaiki prasyaratnya terlebih dahulu, dan barulah kemudian berikan konsep dan keterampilan yang baru. Kaidah ini banyak dilupakan para guru. Setelah selesai masa orientasi siswa (MOS) di sekolah, para guru biasanya langsung menyuruh siswa untuk membuka buku matematika. Dan dimulailah prosesi yang menakutkan bagi sang anak. Proses pembelajaran dan pengajaran tentang pokok bahasan pertama dimulai. Dan setelah itu, sang anak pulang dengan membawa setumpuk PR. PR itu pun kemungkinan tidak dikoreksi dan tidak dibahas di dalam kelas. Jika demikian halnya, maka itu merupakan proses yang mekanis, dan tidak humanis, serta juga tidak dialogis (lihat Pasal 40 ayat 2 butir a pada UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional). Seminggu atau bahkan dapat dua minggu pada awal tahun pelajaran berilah ak-anak cerita tentang sejarah matematika, misalnya tentang sejarah penemuan matematika, atau misteri teka-teki Einstein. Dengan itu, cobalah beri tugas anak-anak ke depan kelas, agar mereka tidak merasa 'seram' dengan matematika. Berilah soal-soal dari yang amat ringan sampai yang berat untuk mengetahui apakah mereka telah memiliki kemampuan prasyarat (prerequisite) yang diperlukan untuk memulai pokok bahasan yang baru. Sebagai contoh, siswa SD tidak akan dapat diberikan pokok bahasan tentang 'operasi perkalian' sebelum anak memahami dengan baik 'operasi penjumlahan'. Artinya, 'operasi penjumlahan' merupakan prasyarat 'operasi perkalian'. Jangan lupa berilah penguatan (reinforcement) yang cukup agar anak-anak merasa dapat mengerjakan soal matematika. Harapannya, anak-anak menjadi tertarik dan senang kepada matematika. Apalagi kalau diawali dengan senang dengan suri keteladanan gurunya.

Keempat, berilah kesempatan untuk melakukan praktik dan menemukan sendiri. Kaidah ini sebenarnya sama dengan kaidah Cina yang mengatakan bahwa 'saya dengan dan saya lupa, saya lihat dan saya ingat, dan saya lakukan dan saya faham'. Memang ada sedikit hambatan pada tahap awal dalam memberikan tugas kepada siswa. Itu sama saja dengan itilah 'deman panggung' dalam acara pertunjukan. Pada tahap awal anak akan merasa takut, atau tidak percaya diri akan kemampuannya. Apalagi kalau gurunya tampak begitu galak. Padahal, kegalakan guru itu sebenarnya menunjukkan ketidakmampuan guru itu sendiri. Untuk itu, berikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan tugas, melakukan praktik dan menemukan sendiri, dengan syarat: (1) pada tahap awal berikan tugas yang sepadan dengan kemampuannya, pada tahap berikutnya dapat diberikan tugas yang lebih menantang, (2) jangan lupa berikan penghargaan dengan penguatan (reinforcement), (3) dan kalau sudah terbiasa berikan tantangan dengan memberikan model kompetisi di antara siswa. Banyak model permainan dalam matematika yang dapat dijadikan sebagai alat untuk kegiatan kompetisi antarsiswa atau antarkelompok.

Kelima, berilah kesempatan untuk mencoba metode-metode pemecahan masalah dan berikan kesempatan kepada siswa untuk berinteraksi di antara mereka. Kecakapan berfikir (thinking skill) dan kecakapan untuk berkomunikasi dengan kolega (communication skill) menjadi dua kecakapan hidup (life skills) yang amat penting. Dalam hal ini, mata pelajaran matematika merupakan ilmu dasar yang memberikan landasan kuat untuk membentuk kemampuan berfikir logis bagi anak, dan membiasakan anak untuk dapat bersosialisasi dan bekerjasama dengan sesama kawannya.

Keenam, gunakan metode kelompok kecil dalam proses pembelajaran. Manusia adalah mahluk sosial, homo socius. Tidak seorang pun manusia yang dapat hidup sendirian, tanpa bantuan orang lain. Salah satu pilar pendidikan menurut UNESCO adalah 'learning to live to gether' atau belajar untuk hidup bersama orang lain. Oleh karena itu, pembelajaran matematika pun memerlukan kerja sama dengan orang lain.

Ketujuh, gunakan metode kelompok besar (kelas) dalam proses pembelajaran sebagai tindak lanjut dari metode kelompok kecil. Kegiatan pembelajaran dengan kelompok kecil dapat ditindaklanjuti dengan kelompok yang lebih besar. Beberapa kelompok kecil yang ada dikelompokkan menajadi dua kelompok yang lebih besar, misalnya kelompok A dan B. Masing-masing kelompok diminta berunding untuk menyepakati hasil kerja kelompok kecil sebagai kesepakatan yang lebih besar. Setelah itu, kedua kelompok tersebut (A dan B) diminta untuk melaporkan hasil kerja kelompok di depan kelas.

Kedelapan, mulailah dengan proses konstruksi yang benar dalam benak siswa tentang pengertian bilangan. Pengertian yang benar tentang bilangan merupakan dasar yang kokoh untuk membangun kemampuan lebih lanjut tentang besaran bilangan, komputasi, estimasi atau perkiraan, dan pokok-pokok bahasan lain dalam matematika. Matematika memiliki sifat yang hierarkis, artinya penguasaan satu pokok bahasan tertentu dalam matematika memerlukan pokok bahasan lain sebagai prasyarat (prerequisite). Pengertian bilangan merupakan prasyarat yang paling dasar yang harus dikuasai dengan benar oleh siswa, dengan cara mambangun konstruksi pemahaman yang benar dalam benak siswa.

Kesembilan, mulailah dari yang konkret. Proses pembelajaran matematika di TK, SD sampai dengan kelas II SLTP harus dimulai dari bahan-bahan yang konkret. Oleh karena itu, proses pembelajaran tidak boleh tidak harus menggunakan alat peraga matematika. Alat peraga matematika dapat dibuat sendiri oleh guru, bahkan nyaris tanpa biaya sepeser pun. Dalam penelitiannya, Sowell menarik kesimpulan bahwa 'penggunaan bahan-bahan konkret dalam jangka panjang oleh guru-guru yang paham benar penggunaannya dapat memperbaiki prestasi dan sikap siswa'.
Kesepuluh, menggunakan kalkulator secara bijaksana di dalam kelas matematika dapat memperbaiki prestasi belajar dan sikap siswa terhadap matematika. Ini merupakan hasil penelitian yang dilakukan oleh Hembree dan Dessart. Memang, di Indonesia penggunaan kalkulator di SD masih menjadi penolakan dan setidaknya kesangsian. Penolakan dan kesangsian itu timbul karena adanya anggapan umum bahwa penggunaan kalkulator dapat menyebabkan anak-anak menjadi malas berfikir dan menghafal. Dan oleh karena itu, dikhawatirkan penggunaan kalkulator justru dapat menurunkan prestasi belajar siswa. Namun, untuk SLTP dan SMU penggunaan kalkulator tidak terlalu menjadi masalah, karena telah masuk ke dalam kurikulum. Terjadinya pembatasan dalam penggunakaan kalkulator di SD menjadi tidak realistis, karena pada saat terjun ke masyarakat, mereka akan dihadapkan pada kenyataan perlunya menggunakan kalkulator di rumah atau di tempat kerja. Oleh karena itu, yang paling bijak adalah dengan menggunakan kalkulator secara benar dan rasional, dan bukan dengan cara melarangnya tanpa pertimbangan.

No comments:

Post a Comment