Thursday 30 December 2010

MEMBANGUN PERADABAN ISLAM MELALUI PENGUASAAN ILMU PENGETAHUAN


Seharusnya carut marutnya Negara Indonesia belakangan ini juga disadari sebagai carut marutnya peradaban Islam secara umum. Tidak banyak memang yang menyadari korelasi ini, meski sepenuhnya mereka sadar bahwa bangsa ini salah satu penyumbang populasi terbesar umat Islam di dunia. Keprihatinan yang harus dibangun tidak sepatutnya lagi sebatas pada sekat nasionalisme semata, namun sudah harus menyentuh nilai-nilai transendental di bawahnya. Problem yang dihadapi umat Islam tidak hanya berupa serangan budaya asing dengan berbagai bawaan negatifnya, tapi juga problem internal dalam tubuh umat Islam sendiri. Mau diakui atau tidak, peradaban keilmuan umat Islam saat ini jauh tertinggal dari peradaban non-Islam atau sebut saja “Barat”. Kalau penulis mengakui keunggulan “Barat”, bukan berarti penulis adalah pemuja “Barat”. Bahwa banyak nilai-nilai negatif yang dihadirkan “Barat” dan bertentangan dengan Islam itu sudah pasti, tapi bahwa peradaban keilmuan “Barat” lebih maju dibanding dunia-dunia Islam itu juga cukup sulit disangkal.

Budaya membaca -sebagai salah satu elemen pembangunan peradaban ilmu- misalnya dapat dikedepankan sebagai contoh. Budaya membaca bangsa Indonesia masih berada jauh di bawah “Barat”. Ada sebuah penelitian tentang penjualan barang-barang secara online di internet berdasarkan kategori tertentu. Hasil penelitian ini untuk wilayah Indonesia cukup mengejutkan. Buku menduduki juru kunci barang yang dijual di internet. Yang tertinggi masih diduduki barang-barang konsumtif, seperti alat-alat elektronik dan kendaraan. Bandingkan dengan Amerika -dan juga beberapa negara Barat maju lainnya- yang meletakkan buku di papan atas barang-barang yang dijual secara online. Demikian juga perbandingan kualitas dan kondisi perpustakaan yang memiliki perbedaan cukup signifikan.

Reduksi Makna Ilmu

Pemaknaan ilmu yang mengalami reduksi dalam pemahaman muslimin adalah salah satu faktor penghambat pembangunan peradaban ilmu. Kata ”ilmu agama” acap kali -kendati tidak oleh semua muslimin- masih diidentikkan dengan ilmu-ilmu seperti fiqh¸ tafsir, dan sebagainya. Atau maksimal hanya di-qiyas-kan dengan ilmu-ilmu sosial saja. Sedangkan bidang kajian eksakta masih sangat kuat label duniawi-nya ketimbang ukhrowi-nya. Akibatnya sangat jelas, dikotomi ilmu pengetahuan semacam ini berakibat buruk terhadap perkembangan science Islam, dan tentu saja berbanding lurus terhadap melemahnya peradaban Islam itu sendiri.

Tentu saja bukan salah teks atau pembuat teks kalau disebutkan, ”Barang siapa yang menginginkan dunia, maka lakukanlah dengan ilmu. Barang siapa menginginkan akhirat, maka lakukanlah dengan ilmu. Barang siapa menginginkan keduanya, maka lakukanlah dengan ilmu”. Adalah tafsiran kontraproduktif yang pada akhirnya mendasarkan adanya dikotomi ilmu dunia dan akhirat dengan teks ini. Yang benar adalah, kalimat tersebut mengisyaratkan bahwa peradaban ilmu menjadi syarat mutlak yang diperlukan untuk mencapai kesuksesan dunia akhirat (hasanah fid dunya wal akhirat) sebagaimana doa yang kerap dipanjatkan kaum muslimin selama ini.

Imam al-Ghazali dengan karyanya Ihya’ Ulumid Din juga tidak jarang disalahtafsirkan dengan seolah hanya membawa pesan-pesan metafisika sebagai bagian dari ilmu-ilmu agama (ulumud din). Sementara pesan-pesan fisika seolah tidak termasuk dalam bagian keilmuwan agama yang menjadi misi al-Ghazali. Salah kaprah semacam ini bila sampai menjadi mapan di bawah alam sadar kaum muslimin bisa memberikan dampak yang sangat negatif terhadap perkembangan Islam ke depan. Sayangnya, itu benar-benar telah terjadi saat ini.

Demikian pula penyalahartian kitab Ta’limul Muta’allim yang luar biasa besar memberikan perhatian terhadap peradaban ilmu. Baik pengguna atau pengkritik kitab tersebut tidak semua memahami misi penting yang -menurut penulis- ditawarkan kitab tersebut. Ilmu yang seolah didudukkan sebagai ”Tuhan” sehingga penyampai ilmu pun harus dihormati dan dibesarkan layaknya ”Nabi” dalam kitab ini mendapat kritik keras dari banyak orang. Padahal menurut penulis, ini bukan persoalan ajaran feodalisme ala Hindu atau pesantren salaf. Kalau sahabat ‘Ali -sebagaimana dikutip kitab tersebut- sampai berkata, ”Aku adalah hamba bagi guru yang telah mengajariku satu huruf” jangan diartikan ia menuhankan seorang guru. Tapi sahabat ‘Ali ingin menunjukkan bahwa keberadan manusia tanpa Tuhan hampir serupa dengan kondisi manusia yang hidup tanpa ilmu. Ilustrasi di atas hanya sekedar ingin menunjukkan bahwa ada problem penafsiran yang juga butuh diperbaiki dalam internal umat Islam.

Jihad Bil ‘Ilmi

Al-Ghazali adalah tokoh Islam yang sangat concern terhadap pentingnya pembangunan peradaban ilmu. Itulah mengapa Kitab Ihya’ Ulumid Din diawali pembahasannya dengan bab tentang ilmu (kitabul ilmi). Pada saat perang salib berlangsung, al-Ghazali justru banyak menekankan jihad bil-ilmi. Bukan karena al-Ghazali tidak memahami arti jihad atau tidak peduli dengan perang salib, tapi ada bangunan pondasi yang harus lebih dulu diletakkan sebelum sebuah peradaban dapat tegak berdiri, yaitu pondasi ilmu. Hasilnya bisa dilihat, dari guru semacam al-Ghazali lahirlah generasi hebat Salahuddin al-Ayyubi yang kemudian mampu merebut kembali Jerussalem.

Benar bahwa umat Islam tidak perlu rendah diri terhadap “Barat”. Sikap inferior itu harus dibuang jauh-jauh dari benak umat Islam. Populasi Islam, termasuk di Indonesia harus berani menantang “Barat” untuk berkompetisi. Kita dudukkan mereka sebagai ”kompetitor”. Kalau muslimin ditanya sudah siapkah berkompetisi? Jawabannya pasti siap. Tapi, kalau pertanyaannya sudah seimbangkah kompetisi ini nantinya akan berlangsung? Tentu muslimin harus pandai-pandai menganalisis berbagai kekurangan internal dan kelebihan kompetitornya.

Salah satu kekurangan yang sangat terlihat tentu saja adalah minimnya ghirah ‘ilmiyyah di kalangan Muslimin. Jihad bil ‘ilmy adalah pilihan mutlak yang harus diambil untuk menambal lubang kekurangan itu. Islam layak berkuasa di dunia hanya bila infrastruktur sebagai penguasa dunia telah mampu dibangun Islam. Bagaimana mungkin Islam mampu menjadi kekuatan dunia dengan tingkat pendidikan masyarakat muslim masih di bawah rata-rata? Bagaimana bisa menciptakan Islam sebagai rahmat bagi semesta, sementara sebagian besar muslimin masih sebatas bisa menjadi konsumen saja? Umat Islam harus bangkit dan berjihad melawan kebodohan, keterbelakangan, dan kemiskinan. Salah satu upaya bentuk perlawanan tersebut adalah dengan dengan upaya yang bersungguh (jihad) dalam menguasai ilmu pengetahuan (fil ‘ilmi), kemudian berupaya dengan ilmu pengetahuan tersebut untuk membangun supremasi peradaban Islam (jihad bil ‘ilmi).

Penulis dalam hal ini tidak kemudian berarti menafikan atau menghilangkan syari’at jihad dalam arti perang fisik (qital). Hanya saja, realitas yang terjadi justru pelaksanaan jihad model ini seringkali tidak pada tempat yang tepat, sehingga tidak jarang melahirkan sikap “islamphobia” di kalangan luar dan tidak memberikan pengaruh apa-apa terhadap perkembangan Islam. Apalagi di negara kita Indonesia, jihad model ini sangat tidak tepat untuk dilaksanakan, karena terlalu banyak mudarat yang ditimbulkan ketimbang manfaat yang diperoleh umat Islam.

Indikasi maju dan mapannya sebuah peradaban sangat ditentukan dari tinggi dan kuatnya ilmu pengetahuan sebagai penyangga utamanya. Tentu saja, pendidikan moral tidak bisa dikesampingkan dari upaya pembangunan keilmuan ini. Di sinilah letak pentingnya Islam sebagai sebuah ajaran etis (akhlak). Peradaban ilmu yang dibangun Islam pasti berbeda dengan produk “non-Islam”, karena Islam memiliki keyakinan bahwa sumber ilmu pengetahuan adalah satu, yaitu Allah SWT. Sumber tersebut kemudian direalisasikan dalam bentuk ayat-ayat kauniyyah dan ayat-ayat qauliyyah. Itu artinya setinggi apapun ilmu pengetahuan itu dicapai dalam Islam pastilah tetap harus berlandaskan pada nilai-nilai etis yang diatur dalam al-Quran dan Sunnah Rasul.

Ikhtitam

Lembaga pendidikan Islam harusnya juga memegang peranan penting dalam mendukung gerakan membangun peradaban ilmu Islam. Terutama untuk membedakan luarannya dari peradaban “Barat”. Permasalahannya, mengapa banyak lembaga pendidikan Islam -termasuk berbagai universitas Islam di Indonesia- jutru malu-malu menyatakan keislamannya. Universitas Islam harus berani membangun konsep ekonomi Islam, politik Islam, sosiologi Islam, psikologi Islam, sains Islam, budaya Islam, dan sebagainya. Berapa banyak kita memiliki lembaga pendidikan Islam, tapi berapa besar sumbangannya terhadap peradaban ilmu Islam? Ini semua menjadi tugas kita bersama.Wallahu a’lam.
alrasikh.wordpress.com

No comments:

Post a Comment