Saturday 27 August 2011

Rahasia Zakat


Zakat merupakan salah satu pilar (rukun) Islam. Artinya, Islam tidak bisa tegak jika zakat tidak ditunaikan oleh pemeluknya. Allah memberi perintah agar kaum muslim membayar zakat sebanyak 60 kali, 26 kali di antaranya diperintahkan bersama menunaikan shalat.

Ini menegaskan bahwa antara shalat dan zakat tidak bisa dipisahkan. Zakat merupakan ibadah murni dan sosial kebendaan sekaligus.

Pertanyaannya, rahasia apa di balik zakat, ibadah mengeluarkan 2,5% penghasilan atau 5% bagi hasil pertanian dengan irigasi teknis, 10% bagi hasil tanaman tadah hujan, atau sesuai dengan ketentuan zakat setelah melampaui batas kepemilikan minimal (nishab) dan rentang waktu setahun (haul) untuk harta tertentu, ditempatkan sebagai salah satu pilar Islam?

Rasulullah diperintah proaktif menghimpun zakat. Tujuannya untuk membersihkan dan mensucikan harta agar mendatangkan ketenangan. Firman Allah : ’’Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoakanlah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah maha mendengar lagi maha mengetahui’’ (QS Al-Taubah:103).

Zakat itu membersihkan dari kekikiran dan cinta berlebihan kepada harta. Mensucikan adalah bahwa zakat menyuburkan sifat kebaikan. Doa orang yang menerima zakat menghadirkan ketenangan.

Wahbah al-Zuhaily dalam Tafsir al-Munir (11-12:27) menjelaskan, riwayat Ibn Jarir dari Ibn ’Abbas, ayat tersebut turun terkait dengan Abu Lubabah dan sahabat-sahabatnya yang dibebaskan Rasulullah karena mengakui dosa-dosanya. Mereka mengatakan: ’’Wahai Rasulallah, inilah harta kami yang menjadikan kami khilaf, sedekahkanlah dari harta kami dan mohonkan ampunan dosa-dosa kami’’.

Nabi menjawab: ’’Aku tidak diperintah untuk mengambil sesuatu pun dari harta kalian’’.

Maka Allah menurunkan ayat 103 surat al-Taubah tersebut. Setelah itu, Rasulullah mengambil sepertiga harta mereka.

Para ulama menjelaskan, meski sebab turunnya ayat berhubungan dengan dosa mereka, ayat itu memberi petunjuk bahwa zakat menjadi kewajiban orang yang telah memiliki harta yang melampaui nishab (batas), yang menurut Yusuf Qardlawy, setara dengan 85 gram emas.

Jika harga emas Rp 400 ribu/ gram, maka orang yang memiliki harta Rp 34 juta/setahun berarti sudah berkewajiban zakat sebesar 2,5%, yakni Rp 850 ribu. Jika Rp 850 ribu dibagi 12, berarti setiap bulan Rp 70.835.

Batasan kepemilikan (nishab) dan rentang waktu setahun (haul) dimaksudkan agar tidak memberatkan. Zakat tidak dimaksudkan untuk memberatkan, akan tetapi untuk membersihkan diri dan harta serta mensucikan orang yang menunaikannya.

Sedekah

Dalam kaitan ini, Rasulullah bersabda : ’’Bentengilah hartamu dengan membayar zakat, obatilah penyakitmu dengan sedekah, dan hadapilah ujian atau cobaan (Allah) dengan berdoa.’’ (Riwayat al-Thabrany).

Ini berarti orang yang tidak mau membayar zakat, membiarkan hartanya ’’tidak aman’’ karena benteng yang melindunginya dibiarkan porak poranda. Harta yang tidak disedekahi berarti mengundang penyakit, karena kikir dan pelit adalah penyakit hati akibat cinta harta secara berlebihan.

Kebahagiaan tidak terletak pada menumpuknya harta, tetapi manakala seseorang dapat memanfaatkan hartanya untuk memaksimalkan ibadah, baik ibadah vertikal kepada Allah maupun horizontal kepada sesamanya.

Harta sebagai rejeki dari Allah di dalamnya ada fungsi sosial, yaitu untuk membantu orang yang tidak mampu, tidak hanya karitatif, tetapi untuk dapat mengubah para penerima zakat (mustahik) agar berusaha menjadi pembayar zakat.

Dalam riwayat yang lain, Rasulullah bersabda: ’’Empat hal sebagai penyangga kokohnya kehidupan suatu bangsa di dunia adalah, pertama, nasihatnya ulama, kedua, pemimpin yang adil, ketiga, kedermawanan orang-orang kaya, dan keempat, adalah doanya orang-orang fakir’’.

Agar misi zakat terwujud, Allah telah mengaturnya dalam QS At-Taubah ayat 60 yang isinya menegaskan bahwa institusi yang diamanati mengurus zakat adalah amil.

Fungsi amil ada empat. Pertama sebagai pengontrol dan pengingat para muzakki (wajib zakat). Kedua menjaga perasaan mustahik. Ketiga mengontrol agar para mustahik tidak menerima zakat dari berbagai sumber. Keempat menyeleksi agar para mustahik diproyeksikan mampu mengubah nasibnya menjadi muzakki.

Muhammad Abu Zahrah merumuskan kaidah ’’al-ashl fi al-zakat an yajmaĆ­aha kullaha waliyyu l-amr au man yanuba ilahi’’ yang artinya ’’pada dasarnya zakat agar dikumpulkan seluruhnya oleh pemerintah atau institusi yang ditunjuk mewakilinya’’.

Mengingat potensi zakat di Indonesia cukup besar, kira-kira Rp 100 triliun pertahun, maka ini menjadi pekerjaan rumah yang besar untuk dioptimalkan penghimpunannya dan diefektifkan pengelolaan dan pendistribusiannya.

Dengan demikian, para muzakki yang berkecukupan harta berbagi kebahagiaan dengan saudara-saudaranya yang miskin. Yang perlu diingat adalah bahwa 2,5% harta kita adalah bukan milik kita.

No comments:

Post a Comment