Tuesday 5 May 2009

BHP pesanan asing?

Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (BHP) yang disahkan pada 17 Desember 2008, dipandang sebagai kado pahit di akhir tahun bagi sejumlah kalangan, dengan sisi pandang yang berbeda-beda sesuai kepentingannya.
Mahasiswa dimana-mana melakukan demonstrasi menolak BHP karena khawatir BHP akan membuat biaya pendidikan semakin mahal, lembaga pendidikan akan disamakan dengan perusahaan yang kapitalistik, dan membuat orang miskin semakin ‘tidak berhak’ mendapat pendidikan yang layak karena tidak mampu membayar.
Ada yang juga menilai pemerintah berusaha lepas tangan terhadap kewajiban mencerdaskan kehidupan bangsa, khususnya bagi rakyat miskin, karena 1/3 dari biaya operasional pendidikan dilimpahkan ke peserta didik/masyarakat.
Sebaliknya, pemerintah ngotot bahwa UU BHP merupakan wujud tanggungjawab yang besar bagi pemerintah terhadap dunia pendidikan, memberikan keluasan kepada pengelola lembaga pendidikan untuk kreatif, lebih progresif, memberi ruang gerak yang luas, otonom, profesional, dan transparan dengan jaminan mutu terstandar.
Kekhawatiran penolak BHP, memiliki alasan kuat karena di pasal-pasal UU BHP memang memberi peluang besar untuk terjadinya kapitalisasi pendidikan.
Sebaliknya, penegasan pemerintah juga beralasan kuat karena memang merasa memiliki semangat untuk memajukan pendidikan, dimana lembaga pendidikan negeri bukan sekadar sebagai Unit Pengelola Teknis (UPT), harus memiliki standar mutu yang jelas, hingga yayasan agar tidak menjadi ’raja kecil’ dunia pendidikan.
Persoalan mahalnya pendidikan, dalam praktiknya sebenarnya toh sudah berlangsung sejak lama. Banyak lembaga pendidikan negeri yang notabene seluruh biaya rutin seperti gaji guru dan dosen, biaya operasional, biaya proyek pengembangan, semuanya dibiayai pemerintah, ternyata memungut biaya ke siswa/mahasiswa yang cukup besar.
Malah, banyak biaya-biaya program dan proyek atasnama lembaga pendidikan itu yang disimpangkan, karena merasa bukan uang sendiri, tidak ada seseorang yang secara khusus bisa mengklaim berhak atas dana itu, lalu dianggap sebagai ’uangku’ oleh pengelola pendidikan, kemudian dibagi-bagi agar ’aman’.
Sebaliknya, lembaga pendidikan swasta yang notabene seluruh biaya rutin, biaya operasional, sampai biaya pengembangan ditanggung sendiri, toh mampu menerapkan pemungutan biaya dari siswa/mahasiswa/masyarakat yang kompetitif hingga mampu menjadi lembaga pendidikan yang kompetitif dan favorit.
Meski demikian, banyak juga lembaga pendidikan swasta yang menerapkan pola dana pendidikan yang masuk ke yayasan adalah milik yayasan yang selanjutnya menjadi milik pendiri yayasan, karena yayasan include menjadi milik pribadi pendiri, hingga bebas menerapkan menejemen pendidikan yang dikelolanya.
Melalui UU BHP ini, jelas pendidikan di bawah yayasan akan merasa terpukul karena mereka harus mengikuti aturan transparansi pengelolaan keuangan pendidikan sebagaimana ketentuan yang ada.
Di sisi lain, jika UU BHP sudah diterapkan total, maka akan terjadi kompetisi lembaga pendidikan yang cukup baik. Karena semua lembaga sudah berstatus sama yaitu BHP, punya hak yang sama terhadap bantuan pemerintah, transparansi yang luas, dan keterlibatan masyarakat yang kuat.
Tetapi melihat realitas yang berkembang sekarang ini, sebenarnya persoalan UU BHP tidak akan banyak berpengaruh pada dunia pendidikan kita. Kecuali, mental para pengelolanya harus diubah sedemikian rupa dengan pengawasan yang bersih tanpa KKN. Hanya saja, sulit untuk bisa membayangkan mental para pengelola pendidikan sekarang bisa berubah dengan cepat.
Yang paling mengkhawatirkan dari UU BHP ini justru terkait dengan masuknya pemodal asing. Karena di dalamnya sama sekali tidak mengatur ’larangan’ masuknya modal asing di lembaga pendidikan. Apalagi dengan ratifikasi WTO/GATS melalui UU No 7 Tahun 1994 yang memasukkan layanan pendidikan sebagai komoditas perdagangan bebas sesuai dengan hukum pasar bebas.
Pemodal asing, akan sangat mudah masuk ke lembaga pendidikan karena mereka memiliki modal besar, manajemen yang sudah tertata dan terstandar dengan baik, pengawasan program yang ketat, dan imej masyarakat yang kuat di tengah ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah Indonesia.
Segala hal yang berbau asing, termasuk lembaga pendidikan asing, dipandang sangat positif dan baik oleh masyarakat, bergengsi, memiliki level lebih tinggi, lebih bisa dipercaya, dan sebagainya. Kondisi ini menjadi modal dasar yang besar untuk masuknya lembaga pendidikan asing ke Indonesia.
Tidak peduli harus membayar mahal, para pengusaha, orang-orang kaya, pejabat, diyakini akan memasukkan anak-anak mereka ke sekolah asing ini. Karena ada gengsi besar. Sehingga sebenarnya mereka ’membeli gengsi’ saat menyekolahkan anaknya tersebut.
Meskipun kasus ’beli gengsi’ seperti ini, sebenarnya juga sudah berlangsung di sekolah-sekolah negeri favorit, dimana banyak orang tua yang siap membayar jutaan rupiah untuk menyekolahkan anaknya. Ini juga ikut membuat biaya pendidikan menjadi mahal.
Situasi psikologis masyarakat yang mengedepankan ’gengsi’ ini diprediksi akan menjadi peluang besar bagi lembaga pendidikan asing untuk semakin memantapkan langkah masuk ke Indonesia.
Apalagi, asing memiliki kepentingan besar di Indonesia terkait dengan sosial, politik, perdagangan, sampai ideologi. Wajar, jika kemudian ada dugaan bahwa muncul UU BHP ini ada kepentingan asing yang masuk, apalagi didukung realitas ratifikasi WTO/GATS oleh Indonesia. Jangan-jangan, sebagian pasal-pasal di dalam UU BHP merupakan perwujudan dan lanjutan dari pasal-pasal WTO/GATS.
http://imamsubawi.blogdetik.com/2009/01/06/bhp-pesanan-asing/

No comments:

Post a Comment