Thursday 30 December 2010

MENYANDARKAN NIKMAT HANYA KEPADA ALLAH

Mereka mengetahui nikmat Allah, Kemudian mereka mengingkarinya
(Q.S. An-Nahl [16]: 83)
Sebuah cerita, terdapat seorang ayah yang bernama Abu Lu’lu’, ia memiliki seorang anak yang bernama Qosim. Sang anak ini memiliki sikap yang suka membangkang (melawan) orang tuanya. Suatu hari, karena terlalu kesal terhadap tingkah anaknya, sang Ayah (Abu Lu’lu’) marah besar. Akhirnya keluarlah kata-kata dari mulut sang Ayah, “Jika bukan karena ayah, maka kamu tidak akan bisa sebesar ini!”
Mungkin, membaca kisah seperti ini, jika dilihat pada kehidupan masyarakat kita sehari-hari, bukanlah suatu peristiwa yang aneh, apalagi memilukan bagi sebagian orang. Kebanyakan kita mungkin menilai cerita tersebut dari sisi sikap anak yang tidak berbakti terhadap orang tuanya tersebut. Namun, seringkali kita tidak menyadari bahwa ucapan-ucapan yang biasa terlontar seperti perkataan Abu Lu’lu’ tersebut, memberikan dampak yang begitu besar bagi sisi ketauhidan seseorang terhadap Allah ‘Azza wa Jalla.
Perkataan-perkataan seperti yang dilontarkan oleh Abul Lu’lu’ diatas, biasa berlangsung oleh lisan-lisan kebanyakan manusia dalam kehidupan sehari-hari, seperti perkataan seseorang, “Jika bukan karena anjing kecil ini, maka niscaya rumah ini akan dimasuki oleh maling.” Atau perkataan, “jika bukan karena angin yang berhembus pada pagi hari ini dengan tenang, maka nelayan tidak akan bisa menangkap ikan di laut.” Dan juga perkataan-perkataan semisalnya.
Perkataan-perkataan tersebut adalah suatu perkataan tercela, dikarenakan ketika mendapatkan nikmat yang diberikan oleh Allah kepada mereka, mereka tidak menyandarkan nikmat tersebut kepada Allah. Bahkan mereka menyandarkan nikmat-nikmat tersebut kepada selain Allah yang mana hal tersebut pada hakikatnya hanyalah sebagai sebab akan datangnya nikmat Allah kepada mereka, bukan hal yang dapat mendatangkan manfaat dan menolak mudharat (keburukan).
Oleh sebab itu, berkenanaan dengan ayat Alqur’an, yang disebutkan diatas (An-Nahl [16] 83), ’Aun bin Abdillah menerangkan tentang maksudnya: “Mereka mengatakan, ‘Kalau seandainya bukan karena “Fulan” (sebutan bagi seseorang yang tidak diketahui orangnya dalam bahasa arab dikarenakan masih bersifat umum), maka akan terjadi begini dan begitu’”.
Hal ini merupakan permasalahan tauhid yang amat penting diketahui, karena apabila seseorang tidak berhati-hati, maka bisa saja dia terjatuh ke dalam kesyirikan dan kekufuran apalagi jika dia meyakini bahwa sesuatu yang dia sandarkan nikmat tersebut, benar benar yang telah mendatangkan manfaat dan menolak mudharat kepada dia tanpa campur tangan Allah. Maka hal ini bisa mengeluarkan seseorang dari agama Islam ini.
Adapun ketika seseorang dalam mengucapkannya hanya karena perkataan tersebut terlontar dari lisannya tanpa meyakini bahwa sesuatu yang ia sandarkan nikmat tersebut kepadanya yang telah mendatangkan manfaat dan menolak mudharat, serta meyakini bahwa hanya Allah – lah yang mendatangkan manfaat dan menolak mudharat, maka perkataan tersebut akan menjatuhkannya kepada syirkun ashghar (syirik kecil) yang mencakar sisi ketauhidannya kepada ALLAH. Hanya saja, yang perlu kita ketahui wahai para pembaca, bahwasanya kesyirikan kecil lebih besar dosanya jika dibandingkan dengan dosa besar sekalipun selain syirik besar (Ahmad bin Yahya An-Najmi: 262).
Hal ini juga sebagaimana Hadits Qudsi dari Zaid bin Kholid bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: “Apakah kalian mengetahui perkataan Rabb kalian?” Para sahabat menjawab, “Allah dan RasulNya yang lebih mengetahui.” Rasulullah bersabda, “Allah berfirman, ‘Telah berpagi dari hambaKu yang mu’min kepadaKu dan yang kafir. Adapun yang berkata, ‘kami diberi hujan dengan keutamaan Allah dan RahmatNya’, maka orang yang semacam ini telah beriman kepadaKu dan kafir terhadap bintang-bintang. Adapun yang mengatakan, ‘kami diberi hujan disebabkan oleh demikian dan demikian’, maka orang semacam ini telah kafir kepadaKu dan beriman kepada bintang-bintang’”.
Maka yang menjadi pertimbangan dan neraca dalam permasalahan ini adalah apa yang terdapat dalam hati. Adapun yang mengetahui bahwa sesungguhnya seluruh nikmat baik yang besar maupun yang kecil datangnya dari Allah, maka orang semacam ini adalah mu’min yang bertauhid kepada Allah. Maka, apabila seseorang yang mengetahui bahwa nikmat itu seluruhnya dari Allah, hanya saja keluar dari lisannya seperti telah kita bahas, maka hal tersebut mengantarkan pelakunya kepada perbuatan syirik kecil yang telah menodai kesempurnaan sisi ketauhidannya kepada Allah.
Adapun seseorang yang dengan perkataannya tersebut meyakini bahwa nikmat itu datangnya dari sesuatu selain Allah yang ia sandarkan nikmat itu kepada selain Allah, maka dengan perkataannya tersebut ia telah melakukan kesyirikan yang besar yang mengeluarkannya dari millah (agama).
Lalu bagaimanakah jalan keluarnya?
Ketika kita telah mendapatkan nikmat dari Allah, maka hendaklah kita menyandarkan nikmat tersebut hanya kepada Allah. Dan diperbolehkan bagi kita mengikutkan sebab kita dalam mendapatkan nikmat tersebut dengan menggunakan kata sambung “kemudian” untuk menunjukkan sebab. Misalnya, “Jika bukan karena nikmat dari Allah kemudian karena angsa ini, niscaya rumah ini akan dimasuki oleh maling.” Hal inilah yang diajarkan oleh Rasul kita Muhammad SAW.
Sebagaimana hadits dari Hudzaifah dari Nabi Muhammad SAW, Beliau bersabda: “Janganlah kalian katakan, ‘Jika Allah menghendaki dan fulan menghendaki’, tetapi katakanlah, ‘Jika Allah menghendaki kemudian fulan menghendaki’”
Perhatikanlah, bagaimana Rasulullah SAW mengajari umatnya agar terhindar dari perbuatan syirik, bahkan hal-hal yang biasa dianggap kecil oleh sebagian orang, namun hal ini dapat mengantarkan kepada kesyirikan yang lebih besar.
Ketika seseorang menyambung kehendak Allah dengan kehendak makhlukNya dengan kata sambung dan, ini bisa memberi pengertian dalam penyamaan kehendak Allah dan kehendak makhlukNya, dimana jika Allah dan makhlukNya tidak menghendaki maka tidak akan terjadi. Maka sungguh hal ini akan menjadi sebab timbulnya kesyirikan. Namun jika seseorang menggabungkan kehendak Allah dengan makhlukNya dengan kata sambung kemudian, ini memberikan pengertian bahwa kehendak Allah adalah bersifat mutlak, sedangkan kehendak makhluk, adalah hanya sebagai perantara sebab terjadinya suatu perkara.

No comments:

Post a Comment