Saturday 22 January 2011

HAKIKAT DOA ADALAH SYUKUR


Do’a adalah salah satu bentuk tawakkal seorang mukmin terhadap Allah SWT setelah berusaha semaksimal mungkin untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkan. Dengan do’a manusia bisa meminta apapun yang menjadi keinginannya dan sebagai rasa rendah diri dan butuh akan rahmat dan pertolongan Tuhan-nya. Setelah berusaha manusia menyerahkan hasil dari usahanya itu kepada Allah SWT dan tentu manusia akan selalu berharap Allah memberikan yang terbaik sebagai buah dari usahanya itu. Dan di sinilah sebenarnya letak keagungan Allah, memberikan kesempatan manusia untuk berusaha mendapatkan sesuatu dan Dia berjanji mengabulkan do’a yang manusia panjatkan setelah berusaha. Dengan demikian manusia pada prinsipnya tetap diperintahkan berusaha mengejar impiannya namun di balik semua itu juga diwajibkan menyerahkan hasil ikhtiarnya kepada Allah SWT.

Do’a adalah suatu permohonan yang memiliki nilai spiritualitas tinggi. Permohonan yang merupakan bentuk permintaan tulus dari seorang hamba kepada Tuhan-nya. Berkat do’a yang kita panjatkan, atas izin Allah akan bisa mengubah segalanya, mampu memberikan manusia apa yang menjadi keinginannya. Tentu do’a yang sarat ruh yang meyebabkan do’a itu memiliki probabilitas tinggi untuk dikabulkan. Terlebih jika do’a itu dipanjatkan oleh seorang yang jauh dari maksiat, selalu taat akan perintah Tuhan dan merasa dekat dan mengharapkan cintanya. Ibarat melempar sesuatu yang ada di seberang, semakin dekat maka semakin besar pula kemungkinan mengenai tepat sasaran. Sama halnya do’a yang kita panjatkan tidak jauh dari amal perbuatan kita sehari-hari, kalau bagus maka akan bagus juga responsnya. Begitu juga dengan persangkaan hamba terhadap Tuhan-nya, jika ia panjatkan do’a dengan penuh keyakinan bahwa Allah akan mengabulkannya maka insya Allah do’a itu pun akan terkabulkan dan juga sebaliknya.

Hakikat Do’a

Hakikat sebuah doa tidak lain adalah rasa syukur hamba terhadap karunia Tuhan-nya. Dengan selalu menyukuri karunia Tuhan secara tidak langsung manusia menginginkan yang lebih dari itu tanpa harus mengatakannya. Melalui do’a yang kita panjatkan kepada-Nya menyimpan (tercover) permintaan kita agar diberikan berkah dari apa yang telah kita miliki sebelumnya. Hal itu karena Allah SWT maha tahu akan kebutuhan dan keinginan hambanya. Hal ini tentu harus dibarengi dengan rasa syukur yang sebenarnya, bukan hanya sekadar ucapan lisan tanpa ada realisasi nyata dari ucapan itu. Karena hal itu (syukur semu) tidak akan bernilai apa-apa di mata Allah Subhanahu wata’ala. Namun yang dimaksud dengan rasa syukur di sini berarti menggunakan semua karunia Tuhan untuk berbuat baik dan merasa cukup dengan karunia itu. Sehingga semua yang diberikan Tuhan kepada manusia dijadikan sebagai ladang untuk berbuat baik dan selalu berbuat baik.

Salah satu adab dalam berdo’a yaitu membaca tahmid yang tujuannya adalah untuk memuji Allah dan sebagai rasa syukur atas semua nikmat yang diberikan. Kemudian dilanjutkan oleh lantunan shalawat yang dimaksudkan sebagai bentuk rasa cinta kita kepada baginda Rasulullah Muhammad s.a.w sebagai tauladan baik manusia dan rasa terima kasih atas segala jasanya terhadap umat Islam. Dari aturan (adab) ini sesungguhnya kita memahami bahwa ketika seseorang itu menginginkan sesuatu, meminta tambahan dari apa yang telah ia dapatkan, terlebih dahulu harus berterima kasih kepada Dzat yang telah memberikan nikmat itu. Jadi sebenarnya dalam segala segi kita dididik untuk selalu menyukuri nikmat Tuhan bahkan dalam do’a sekalipun. Itu artinya syukur marupakan sesuatu yang urgen dan tidak bisa ditawar-tawar lagi. Barangsiapa memperoleh kenikmatan wajib baginya untuk berterima kasih pada pemberinya. Dalam kehidupan sehari-hari dapat kita ambil ibarat, andaikata ada seorang yang memberikan kita sesuatu dan kita terima sesuatu itu dengan wajah yang ceria lalu kita ucapkan ‘terima kasih’ kepadanya, apa yang akan terjadi? Sang pemberi akan merasa sangat bahagia karena merasa bahwa apa yang ia berikan bermanfaat dan diterima dengan baik. Dan lebih dari itu pemberi pun tentu akan tergerak dan termotivasi untuk memberikan sesuatu untuk yang kedua kalinya dan seterusnya.

Manfaat dari Syukur

Manfaat dari rasa syukur adalah akan kembali kepada kita, tidak yang lainnya. Sebagaimana penggalan ayat di atas, “wa man syakara fainnamâ yasykuru ‘ala nafsihi”, yaitu manfaat dari syukur akan diperoleh oleh orang yang bersyukur itu sendiri. Bahkan dengan menyukurinya kita akan mendapat kesempurnaan nikmat dan langgengnya nikmat itu dalam diri kita karena syukur berfungsi sebagai pengikat nikmat. Dan lebih dari itu kita akan memperoleh berkah (tambahan) nikmat serta memperoleh nikmat yang sebelumnya belum kita rasakan (dapatkan) dari Allah SWT. (al-Qurthuby dalam tafsirnya). Sehingga tidak ada alasan bagi manusia untuk tidak menyukuri nikmat Allah karena sesungguhnya di balik syukur itu tersirat panjatan doa pada sang Maha Kuasa agar nikmat itu terus kita rasakan. Bahkan kalau sampai kita tidak menyukuri nikmat yang kita peroleh kita tergolong orang yang kufur nikmat dan Allah menjanjikan siksa yang pedih. Na’udzubillahi min dzalik!

Sebagaiman do’a yang selalu dipanjatkan oleh Nabi Sulaiman a.s sebagai bentuk rasa syukur atas segala karunia Tuhan agar ia selalu diberikan ilham untuk selalu menyukurinya, untuk beramal shalih dan dimasukkan ke dalam golongan hamba yang shalih (QS. al-Naml [27]: 19). Dalam do’anya Nabi Sulaiman menyatakan kerendahannya di hadapan Tuhan, semua nikmat yang ia peroleh tiada lain adalah penberian dari Allah dan Dia lah dzat yang paling berhak menjaga dan atau mencabutnya. Dari situ kita dapat mengambil tauladan dari seorang nabi dan dijadikan sebagai motivasi untuk terus menyukuri nikmat Tuhan (Allah SWT). Kita gunakan kesempatan yang ada untuk berbuat baik, kita manfaatkan sisa umur untuk berlomba-lomba melakukan kebajikan, kita maksimalkan harta yang kita miliki untuk membantu kaum fakir lagi membutuhkan sebagai wujud terima kasih dan syukur kita atas karunia tuhan. Hal ini karena sesungguhnya apapun yang kita nafkahkan (untuk kebaikan) di jalan Allah, maka Dia lah yang akan menggantinya karena Allah adalah sebaik-baik pemberi rizki yang maha adil. Secara materi mungkin harta (nikmat) itu berkurang namun dibalik itu kita telah memiliki keuntungan yang luar biasa. Yaitu simpanan pahala (bekal/zad) di akhirat dan boleh jadi Allah menggantinya dengan rizki yang lebih banyak (halal dan baik) dari arah yang tiada disangka-sangka (min haitsu la yahtasib).

Rasa syukur kita terhadap nikmat Allah akan menjadi efektif jika kemudian menjadi sebuah kebajikan sosial. Semua yang dimiliki dimaksimalkan untuk berbuat kebaikan kepada sesama dengan didasari semangat kebersamaan dan kesadaraan (solidaritas). Semua potensi yang kita miliki kita gali dan digunakan sepenuhnya untuk memberikan manfaat kepada yang lain. Tentu ini adalah sebuah sikap yang arif yang tidak hanya mendatangkan kebahagian pribadi melainkan juga kemaslahatan sosial. Sehingga muncul sebuah ungkapan, the greatest happiness for the greatest number, kebahagain yang besar untuk masyarakat yang besar pula. Dengan demikian jika semua individu mampu menerapkan budaya syukur dalam hidupnya maka iklim bermasyarakat yang aman dan nyaman akan kita rasakan. Mereka yang memiliki harta berlimpah di-tasarufkan (digunakan) untuk kepentingan orang banyak. Mereka yang memiliki tanah yang lebar diwakafkan untuk kepentingan sosial misalnya mendirikan madrasah, TPA atau yang lainnya. Intinya, semua dimaksudkan untuk sebuah misi yang baik, selain sebagai wujud rasa syukur juga demi syiarnya agama di tengah masyarakat yang variatif. Sehingga esensi dari nilai luhur agama Islam sebagai rahmatan lil’âlamîn akan betul-betul terwujud dalam kehidupan sehari-hari. Dan hal ini yang nantinya akan menghantarkan bangsa Indonesia menuju kejayaan yang sebenarnya jika konsep ini dipegang teguh. Mudah-mudahan seperti itu nantinya.
alrasikh.wordpress.com

No comments:

Post a Comment