Wednesday 1 April 2009

UU BHP PESANAN WORLD TRADE ORGANIZATION (WTO)

Arogansi dan ketergesaan yang tendensius DPR RI mengesahkan RUU BHP menjadi UU BHP pada akhir tahun 2008 patut dipertanyakan. Kalau targetnya hanya untuk menyelesaikan tugas tahunan atau bahkan mendapat bonus akhir tahun anggota DPR RI yang nilainya tidak kecil, sangat ironis. Tugas utama anggota DPR yang terhormat adalah mendengar suara nurani rakyat yang semakin hari semakin berat bebannya.

Kalau dikatakan bahwa UU BHP mencegah sekolah biaya tinggi, mana mungkin kalau 30% biaya pendidikan sekolah harus didapat dari peserta didik. Hal ini akan memacu sekolah bersaing meningkatkan SPP-nya, akibatnya warga dengan pendapatan menengah kebawah pasti semakin berat membayar SPP.

Kalau dalam UU BHP tidak lagi tercantum BHP asing, mana mungkin dapat dicegah kalau UU 20 Sisdiknas (65) masih mengamanatkan adanya BHP asing. BHP asing dengan konglomerasinya pasti jauh lebih kuat dari sekolah/pondok pesantren.

Kalau ada kata sejuk bahwa UU BHP akan mengembangkan sekolah swasta, mana mungkin kalau biaya investasi (imbal swadaya, block grant, dll) hanya dinikmati sekolah negeri. Kalau dikatakan manajemen sekolah lebih profesional, mana mungkin kalau semua sekolah harus punya BHP sendiri. Jadi yang dulunya satu yayasan mempunyai TK, SD, SMP, SMA, SMK kini harus mempunyai 5 BHP. Padahal saat ini satu sekolah jumlah guru/pamongnya biasanya sangat efisien, bila ditambah pengurus BHP apa tidak berlebihan? UU BHP juga mengatur SDM guru secara kontrak dan hubungan kerja sebagai korporat (buruh-majikan), sehingga faktor like and dislike bisa meresahkan. Dengan berlakunya korporasi sekolah dalam UU BHP maka sekolah yang tidak layak (profit), demi hukum dapat dipailitkan oleh pemerintah. Padahal sejak zaman perjuangan, yayasan/perguruan misinya sosial dengan pengabdian kepada bangsa dan berhasil melahirkan para pahlawan.

UU BHP jelas tidak menjamin kemerdekaan pendidikan di tanah air, karena UU BHP atas pesanan World Trade Organization (WTO) yang notabene adalah Badan Perdagangan Dunia. Jadi kemerdekaan Pendidikan Nasional dikuasai (dijajah) Kapitalisme Modern, sungguh kata yang tepat saat ini. Ketentuan WTO tersebut dipersyaratkan oleh World Bank dan IMF dalam rangka pemberian pinjaman yang kemudian disebut Washington Consensus. Persyaratan itu berupa control dengan mengurangi alokasi dana sector pendidikan dialihkan ke sector profit. Liberalisasi perdagangan, liberalisasi investasi asing, privatisasi dan lain-lain. Ketika persyaratan dilaksanakan, kita merasakan bahwa kita tidak sepenuhnya merdeka.

Perlu dipertanyakan mengapa anggota panja RUU BHP dan anggota DPR RI tidak membaca lebih teliti Pembukaan UUD 1945 (yang tidak diamandemen) bahwa kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa dan hak segala warga bangsa. Oleh karena itu segala bentuk penjajahan oleh kolonialis dan kapitalisme modern harus dihapuskan karena tdak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan warga bangsa. Pasal 31 lebih tegas lagi bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan (secara merata) dalam pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN/APBD untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.

opini kr

No comments:

Post a Comment